Perencanaan Tata Ruang Wilayah Berbasiskan Pembangunan Ekonomi

September 19, 2007


I. PENDAHULUAN
Sudah semakin terasa bahwa fenomena globalisasi semakin menyebar dan mempengaruhi serta membawa dampak yang dalam dan beragam dalam kehidupan umat manusia di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Perubahan itu menuntut kesiapan semua komponen bangsa untuk menghadapinya dengan tegar, bersemangat dan terencana. Sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam mengantisipasi dampak yang diperkirakan akan terjadi agar globalisasi itu membawa manfaat bagi seluruh masyarakat.

II. GLOBALISASI
Persaingan yang makin meluas di dalam negeri telah diawali dengan kesanggupan untuk bersaing secara bebas di kancah perdagangan kawasan ASEAN. Beberapa tahun sesudah ini kita harus berani bersaing di kancah perdagangan yang lebih luas lagi, yaitu di kawasan Asia Pasifik. Tanpa ada kesiapan yang sungguh-sungguh, dalam era perdagangan yang bebas itu, pola konsumsi masyarakat kita dapat didikte oleh produsen luar negeri. Demikian juga pola produksi unit-unit usaha yang dilakukan oleh para pengrajin industrialis kita dapat didikte oleh selera konsumen luar negeri yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Pada masa itu kegiatan produksi barang dan jasa semakin mencari bentuk-bentuk yang lebih disukai atau diminati pasar secara luas yang tidak hanya pasar dalam negeri tetapi juga internasional. Ukuran yang standar dalam kegiatan produksi tersebut akan harus mengikuti ukuran intemasional.
Dampak lain dari globalisasi adalah upaya yang semakin keras untuk memperebutkan sumberdayasumberdaya ekonomi yang terbatas, seperti modal, keahlian, teknologi, dan sumberdaya alam yang relatif sukar untuk dipindah-pindahkan. Di satu pihak hal ini dapat menimbulkan kerjasama yang saling menguntungkan antarnegara namun juga dapat menimbulkan konflik kepentmgan ekonomi di antara negara-negara yang bersangkutan. Kecenderungan ini terlihat dengan munculnya blok-blok ekonomi di beberapa kawasan, yang dapat dilihat sebagai upaya menghindani konflik akibat persaingan yang merusak. Tujuan pembentukan kawasan ekonomi ini merupakan awal dan peningkatan arus perdagangan dan investasi dalam kawasan tersebut, dengan cara memulai menghapuskan berbagai kendala perdagangan antamegara termasuk tarif dan berbagai non-tariff barrier.
Kerjasama-kerjasama regional seperti tersebut di atas memberikan harapan yang baik dan juga tantangan yang cukup berat bagi setiap wilayah di Indonesia. Dengan kerjasama regional ini perkembangan wilayah akan menjadi lebih pesat, namun perlu kesiapan sarana dan prasarana dalam sistem aliran barang dan jasa, informasi mengenai potensi dan peluang sumber daya alam, sumber daya manusia baik dan segi kualitas maupun sebarannya. Di luar kerjasama-kerjasama itu dapat muncul bentuk-bentuk hubungan lain antara pemerintah dengan pemerintah, antara swasta dengan swasta, dan antara pemerintah dengan swasta pada berbagai tingkatan. Untuk itu setiap wilayah harus cepat mengantisipasi peluang-peluang yang muncul sebagai akibat globalisasi. Kesiapan dalam menangkap peluang-peluang tersebut diwujudkan antara lain dengan tersedianya prasarana yang memadai, kegiatan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat luas atau masyarakat dunia serta ketersediaan ruang yang dapat memberikan kepastian dan kenyamanan dalam berusaha.

III. KONSEPSI PENATAAN RUANG DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Tata ruang berkaitan erat dengan kegiatan manusia untuk memenuhi berbagai aspek kehidupannya. Pemilihan lokasi kegiatan melalui mekanisme pasar, yang ditentukan perilaku individual, adalah berlandaskan doktrin tata nilai utilitarianisme yang mengacu pada gagasan bahwa peruntukan ruang dan semua sumber alam yang ada di dalamnya harus mengarah pada penggunaan yang sebaik mungkin, yang berpusat pada kepentingan individu. Dalam kerangka pemikiran utilitarianisme tersebut, aspek efisiensi merupakan landasari dasar dan tujuan pemanfaatan ruang. Prinsip kebebasan individual ini dapat bertentangan dengan kepentingan perlunya menciptakan keharmonisan dengan lingkungan hidup. Untuk menghindari pertentangan itu, maka perlu dilakukan kegiatan-kegiatan penataan ruang. Penataan ruang merupakan suatu proses yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; yang satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Sistem penataan ruang di negara kita dibedakan dalam penataan ruang wilayah nasional, wilayah propinsi, wilayah kabupaten/kota, dan wilayah lebih kecil/kawasan.
Penataan ruang dalam berbagai tingkat pengaturan itu dituntut untuk memainkan peran yang positif dan efektif dalam mencapai tujuan mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik untuk semua manusia Indonesia, sekarang dan di masa datang, dan pada saat yang sama juga mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam menghadapi persaingan yang semakin keras di masa depan. Penataan ruang, yang dapat disederhanakan menjadi aktivitas mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha, bukanlah suatu tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti dengan hanya telah diperdakannya rencana tata ruang kabupaten misalnya. Penataan ruang harus merupakan aktivitas yang terus menerus dilakukan untuk mengantarkan masyarakat suatu wilayah mencapai tujuan-tujuan pokoknya seperti melakukan pekerjaan, berumah tangga, dan berekreasi, tennasuk untuk memenuhj kebutuhan spiritual seperti menikmati keindahan alam dan tempat-tempat bersejarah.
Penataan ruang harus mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah dengan cara mengarahkan masyarakat untuk memanfaatkan setiap jengkal ruang untuk kegiatan-kegiatan yang produktif. Ini berarti rencana tata ruang harus menunjukkan mana bagian-bagian kawasan yang tidak boleh dikembangkan untuk keperluan konservasi, kepentingan strategis, dan untuk cadangan masa depan. Selebihnya adalah kawasan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluannya dengan batasan-batasan yang minimal.
Kegiatan ekonomi masyarakat akan berbasis pada sumberdaya alam, karena potensi ini belum termanfaatkan sepenuhnya. Pengembangan sumberdaya alam berarti mendorong pembangunan seluruh potensi SDA yang ada di daerah, yaitu terutama sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan. Pemanfaatan sumberdaya alam memerlukan dukungan infrastruktur, kelembagaan dan adanya iklim usaha yang kondusif, termasuk adanya perangkat insentif dan disinsentif investasi. Semuanya itu dipadukan dalam rencana tata ruang wilayah.
Penataan ruang yang baik akan memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat secara keseluruhan dan dengan demikian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di samping terwujudnya lingkungan yang tertib, indah dan membetahkan. Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa peraturanperaturan tata ruang dapat diterima dengan baik oleh pengusaha dan masyarakat. Harus diusahakan agar hal itu terjadi pula di Indonesia. Indonesia tidak hanya kaya dengan penduduk dan sumberdaya alam, tetapi juga alam yang indah dengan keanekaragaman hayati dan geografi. ini memberikan nilai positif yang dapat dijual untuk menarik modal dan teknologi dan luar negeri. Rencana tata ruang dan pemanfaatannya perlu mengungkapkan hal itu secara baik dan menarik.

IV. STRATEGI PENGEMBANGAN SEKTOR
Berdasarkan analisis terhadap sektor-sektor unggulan, keterkaitan antar sektor, potensi pasar dan peluang investasi selanjutnya dapat dirumuskan strategi pengembangan sektor-sektor sebagai berikut. Beberapa strategi bersifat generik untuk pengembangan sektor-sektor utama diuraikan berikut ini.

Pariwisata
Strategi pengembangan sektor pariwisata ditujukan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dengan mengangkat ekonomi rakyat. Strategi yang dipergunakan antara lain menentukan pusat-pusat pengembangan pariwisata, sebagai pusat pengembangan yang menjadi pusat kegiatan pariwisata menuju sub-sub pusat pengembangan dengan memberikan program kegiatan wisata diantara sub-sub pengembangan. Penekanan kegiatan atau obyek wisata unggulan dari setiap sub-sub pusat pengembangan:
Kota terbesar di suatu wilayah sebagai pusat jasa dan perdagangan dapat dikembangkan wisata belanja atau shoping tourism dengan:
1. Mempertinggi akses menuju pusat-pusat atau obyek-obyek pariwisata baik bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara.
2. Pengembangan atraksi wisata atau deversifikasi kegiatan wisata dengan mengaitkan dengan kegiatan ekonomi rakyat.
3. Memberikan insentif bagi investor yang akan mengembangkan obyek-obyek wisata dan jasa akomodasi (hotel)
4. Pengembangan pendidikan kepariwisataan.

Perikanan
Pembangunan sektor perikanan ditujukan untuk memajukan perekonomian secara makro yang dikaitkan dengan ekonomi secara global melalui strategi pembangunan daerah yang mengacu pada ‘Outward looking’ dikaitkan dengan pulau besar (Sumatera, dll) dan pembangunan kawasan lebih luas, dan strategi ‘Outward Looking’ dilihat pada kecenderungan perkembagan Asia-Pasifik yang implementasinya dikaitkan dengan kerjasama BIMP-EAGA, dll.
Untuk mengakselerasikan keadaan tersebut strategi pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah adalah :
1. Peningkatan industri perikanan skala ekspor
2. Pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan samudra di Bitung sebagai pusat pelayaran jasa penangkapan ikan terbesar
3. Pengembangan kota sebagai ‘Centre of Excellence’ Sumberdaya Manusia (SDM) perikanan melalui pendirian Akademi Perikanan Bitung melengkapi SPP, BKPI, dan Akademi Maritim yang sudah ada
4. Pembangunan terminal agribisnis di suatu wilayah sebagai pusat transaksi komoditi pertanian termasuk perikanan dan layanan sortasi, pengemasan, pengepakan dan angkutan produk-produk pertanian termasuk perikanan.

Industri/Agroindustri
Strategi pengembangan sektor industri/agroindustri di suatu wilayah adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan industri beesar, sedang dan kecil
2. Mengembangkan industri yang padat sumberdaya alam (natural resource base intensive) agar mampu bersaing dengan daerah lain di Indonesia umumnya dan di pasar internasional pada khususnya.
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan/memperpendek jalur birokrasi dan penghapusan pungutan yang tidak perlu.
4. Pemberian insentif khusus melalui instrumen fiskal (misal penundaan pembayaran pajak) dan instrumen moneter (subsidi tingkat bunga pinjaman), dan kebijaksanaan administratif pemberian perijinan sistem satu atap.

V. KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI
Potensi kelembagaan ekonomi di luar wilayah/negara perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan suatu kawasan. Saat ini telah dirintis beberapa kerjasama ekonomi antara Pemerintah Indonesia, dengan negara-negara lain seperti dengan Brunei dam Pilipina (BIMP-EAGA), dengan Malaysia dan Sdingapura (Segitiga Sijori), dll. Kerjasama ini antara lain dapat meliputi sektor-sektor berikut.

a. Perkebunan
Kerjasama ini dapat meliputi:
1. Spesialissi dan regionalisasi produksi perkebunan
2. Mengurangi hambatan perdagangan di perbatasan atau lintas batas (croos-border trade)
3. Regionalisasi produksi perkebunan
4. Regionalisasi investasi untuk pengolahan hasil perkebunan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi
5. Penyediaan infrastruktur prasarana fisik dan komersial dan sumber daya manusia
6. Perbaikan jaringan transportasi dan fasilitas pengapalan
7. Penyediaan lokasi pemasaran bagi hasil-hasil perkebunan dan pengolahannya
8. Penyiapan sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja pengolahan hasil perkebunan
9. Perbaikan/harmonisasi peraturan ekspor/perdagangan
10. Pengadaan kegiatan agrotourism dan agroindustri

b. Industri
Kerjasama ini dapat meliputi:
1. Pemanfaatan dan pengolahan bersama dengan anggota BIMP-EAGA sumberdaya alam yang tersedia:
2. Diversifikasi produksi bernilai tambah lebih tinggi dengan berbasis pada industri pengolahan hasil pertanian dan sumberdaya alam, misalnya pengolahan kelapa.
3. Melakukan kegiatan promosi untuk industri menengah dan kecil ke pasar ekspor
4. Melakukan kegiatan industrialisasi berwawasan globalisasi dengan orientasi peningkatan ekspor
5. Melakukan peningkatan daya saing internasional komoditas ekspor
6. Pusat informasi peluang untuk investasi asing dan investasi domestik

c. Penyediaan fasilitas infrastruktur fisik:
1. Penyediaan sarana jalan penghubung antara sentra industri ke pusat-pusat pemasaran dan transito (pelabuhan)
2. Penyiapan sarana angkutan barang produksi dari sentra produksi (perkebunan dan perikanan) ke pusat industri pengolahan

d. Penyediaan sumber daya manusia :
Penyiapan tenaga kerja siap pakai untuk sektor industri, terutama untuk tenaga kerja madya melalui pelatihan khusus sesuai kebutuhan negara terkait

e. Pengembangan jaringan dengan sektor lain :
1. Menciptakan cluster industri, terutama untuk pengembangan industri kecil
2. Menciptakan peluang perdagangan dan industri dengan memperhatikan keterkaitan ke depan dan ke belakang
3. Pembangunan fasilitas perdagangan dan pelayanan jasa keuangan
4. Mendorong kaitan pembangunan sektor industri dengan sektor perkebunan
5. Meningkatkan kemampuan sektor pendukung (misalnya transportasi)

VI. KESIMPULAN
Menapaki era Milenium III dengan persaingan yang sangat keras saat ini, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya alam, yang tersebar di berbagai wilayah. Dalam pembangunari yang semakin kompleks, kerjasama antardaerah menjadi sangat penting. Kerjasama ini lebih mudah tercapai bila terdapat keseimbangan pembangunan antardaerah menurut tempat dan waktu.
Globalisasi menuntut perencana tata ruang untuk memiliki wawasan yang lebih luas tidak sebatas wilayah negara sendiri dan tidak sebatas aspek-aspek fisik saja. Hal yang penting untuk juga diperhatikan secara terus menerus adalah pengaruh perubahan ekonomi dunia terhadap perkembangan ekonomi suatu wilayah, dalam berbagai skala. Pemahaman ini penting untuk dapat mengarahkan pertumbuhan suatu kawasan agar didapat suatu tingkat efisiensi yang tinggi dalam konteks persaingan global.

–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef; Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, 1996
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985

Perencanaan Tata Ruang Menuju Otonomi Daerah Yang Diperluas

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan hingga dituju pada akhir periode rencana. Selain bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka (tanpa menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus dipatuhi oleh stakeholders pengguna ruang di wilayah rencana. Namun tata ruang dapat pula terdiri atas gabungan kedua bentuk di atas, yaitu terdapat alokasi ruang dan juga terdapat prosedur.
Penggunaan ruang oleh stakeholders sering membuat ruang menjadi tidak efisisen, karena tiap stakeholder berusaha mengoptimasi kepentingannya masing-masing atau kelompoknya. Jika terdapat aturan/rencana atas ruang tersebut, ruang yang digunakan oleh stakeholders tersebut dapat menjadi lebih efisien dan sesuai dengan kepentingan bersama secara menyeluruh. Kondisi ini dapat dipahami melalui keberadaan fasilitas umum dan kawasan lindung yang harus ada dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat namun seringkali tidak dipertimbangkan oleh kepentingan-kepentingan individu atau kelompok.
Peran perencana tata ruang adalah menyeimbangkan kepentingan stakeholders secara harmonis. Perencanaan tata ruang dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana orang, badan usaha dan pemerintah perlu mengacunya. UU 24/1992 telah memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi pemerintah pada berbagai tingkatan untuk melakukan penataan ruang.
UU 22/1999 (direvisi dengan UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah membawa arah baru pada sistem dan mekanisme pemerintahan daerah. Nuansa otonomi pada daerah kabupaten/kota (dahulu disebut sebagai Kabupaten/Kotamadya Dati II) terlihat jelas dalam UU tersebut. Hal ini membawa implikasi pada perubahan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara langsung juga berpengaruh pada pelaksanaan penataan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah. Selain itu keberpihakan pada keikutsertaan masyarakat dalam berbagai segi pembangunan termasuk dalam hal pengambilan keputusan menempati porsi yang cukup besar dalam era otonomi luas.

II. PARADIGMA BARU TATA RUANG ERA OTONOMI LUAS
Pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut selama ini cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunan/perencanaan dibanding sebagai subjek pembangunan/perencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, misalnya dalam hal mengembangkan usaha, bahkan mendirikan rumah/permukiman. Selama ini, rencana tata ruang yang telah disusun oleh para perencana, yang seringkali berasal dari luar daerah, yang kemudian disahkan begitu saja oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD, selanjutnya menjadi dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Selanjutnya, pengaturan pelaksanaan rencana tata ruang yang disahkan tersebut didominasi oleh aparat pemerintah. Kalaupun masyarakat terlibat, hanya diwakili oleh anggota legislatif yang memiliki daya kontrol yang lemah.
Dalam era otonomi luas sekarang ini, diperlukan perubahan pola pikir pendekatan penataan ruang. Pola pikir pendekatan penataan ruang yang memandang masyarakat sebagai objek peraturan yang homogen, perlu diubah dengan memandang masyarakat sebagai subjek peraturan dengan keanekaragaman perilaku. Kondisi ini identik dengan pengaturan pemerintah daerah yang selama ini dianggap homogen, dan pada era otonomi luas ini diberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Pendekatan baru dalam penataan ruang ini menuntut pemerintah berperan dalam menggali dan mengembangkan visi secara bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat didalam merumuskan wajah ruang di masa depan, standar kualitas ruang, dan aktivitas yang diinginkan dan yang dilarang pada suatu kawasan yang direncanakan.
Menempatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan memutuskan alternatif rencana merupakan suatu langkah untuk menjadikan rencana, khususnya dalam hal ini tata ruang, sebagai rencana kepunyaan masyarakat. Sehingga pelanggaran terhadap rencana adalah menentang kesepakatan masyarakat, bukan terbatas menentang keputusan pemerintah daerah. Hal ini sebenarnya akan meringankan beban pemerintah yang selama ini berfungsi polisional. Jika hal ini bisa dilaksanakan, tata ruang akan dapat berfungsi secara efektif dan pembangunan daerah yang berbasis tata rang dapat berkembang.
Pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang telah ditetapkan dalam PP 69/1996. PP ini akan sangat membantu masyarakat dan pemerintah terutama pemerintah daerah dalam melaksanakan proses penataan ruang yang mengikutsertakan masyarakat. Bahkan acuan yang lebih teknis sebagai pelaksanaan PP 69/99 telah ada, dengan dibuatnya Permendagri 9/1999 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dengan demikian pemerintah daerah dapat mulai berpacu melakukan proses penataan ruang yang berbasiskan peran serta masyarakat.

III. PENATAAN RUANG DAN OTONOMI DAERAH
Kaitan antara UU 24/1992 tentang Penataan Ruang dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut.
Pada prinsipnya UU 24/1992 tentang Penataan Ruang sudah berjiwa desentralisasi. Ini terlihat dari pasal-pasal mengenai kewajiban penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Disebutkan dalam UU 24/1992 bahwa Pemerintah Daerah Propinsi berkewajiban menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah propinsi, demikian juga Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota berkewajiban menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana tata ruang untuk kawasan-kawasan dengan fungsi tersendiri seperti kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan serta kawasan tertentu merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah Kabupaten/ Kota, sehingga juga merupakan kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat dalam urusan penataan ruang hanya berfungsi memberikan arahan dan kebijakan penataan ruang secara nasional. Demikian juga Pemerintah Propinsi memberikan arahan dan kebijakan penataan ruang dalam lingkup propinsi. Dalam merumuskan kebijakan penataan ruang wilayah propinsi ini, Pemerintah Derah Propinsi menjabarkan kebijakan penataan ruang wilayah nasional dan menyesuaikannya dengan keadaan wilayah propinsi. Kegiatan utama penataan ruang merupakan kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, tidak hanya dalam perencanaan namun juga dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, termasuk kegiatan-kegiatan yang dapat mendatangkan pendapatan bagi Pemerintah Daerah.
Walaupun tidak ada perbedaan prinsip antara kedua UU tersebut, namun ada beberapa klausul dalam UU 24/1992 yang perlu disesuaikan dengan semangat UU 32/2004. Diantaranya adalah mengenai ruang lingkup rencana tata ruang wilayah nasional dan propinsi yang perlu disesuaikan dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004, penetapan kawasan tertentu berikut perencanaan dan pengelolaannya, dan penetapan hirarki permukiman dan kawasan-kawasan andalan. Penyesuaian UU 24/1992 perlu dilakukan, namun dengan tetap menempatkan kegiatan penataan ruang sebagai alat untuk mempersatukan wilayah negara, mengamankan kawasan-kawasan konservasi, mengendalikan perkembangan kawasan budidaya agar tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, dan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat.

IV. PERUBAHAN UNDANG­-UNDANG PENATAAN RUANG
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi terhadap penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, termasuk didalamnya masalah penataan ruang. UU 24/1992 tetap menjadi pedoman dalam rangka pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan rencana tata ruang, karena secara konseptual UU 24/1992 telah sesuai dengan substansi yang tertuang dalam UU 32/2004.
Adanya bentuk rencana tata ruang wilayah skala nasional, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, tidak perlu dilihat sebagai suatu hirarki yang mengikat secara kewenangan politis. Skala rencana tata ruang wilayah disusun sebagai suatu keterikatan fungsional dan struktural dalam menata ruang yang lebih optimal dan efisien.
Dalam beberapa segi UU 24/1992 memerlukan penyesuaian, antara lain peristilahan. Penyebutan “Propinsi Daerah Tingkat I” dan “Kabupaten/ Kota Daerah Tingkat II” tidak dipergunakan lagi, menjadi “Daerah Propinsi” dan “Daerah Kabupaten/Kota”. Penyesuaian lainnya adalah dalam hal pensahan peraturan daerah tentang RTRW Daerah Propinsi dan RTRW Daerah Kabupaten/Kota yang saat ini tidak perlu dilakukan oleh Mendagri. UU 32/2004 juga menekankan perlunya diadakan kerjasama antar Daerah dalam menyelesaikan kegiatan/permasalahan yang meliputi lebih dari satu Daerah, sehingga penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu daerah propinsi tidak lagi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri yang bertugas mengkoordinasi penataan ruang dan yang meliputi satu daerah kabupaten/kota tidak lagi dikoordinasikan oleh Gubernur, sepanjang kawasan tersebut bukan merupakan kawasan tertentu yang kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah pusat.

V. KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM KEGIATAN PENATAAN RUANG
Menurut UU 32/2004 pemerintah pusat dalam kegiatan penataan ruang berwenang dalam (1) menyusun kebijakan sektor penataan ruang, seperti kebijakan kawasan tertentu, KAPET, penataan ruang wilayah, perkotaan-perdesaan; (2) kebijakan umum, antara lain penyusunan RTRWN, PP, Keppres; dan (3) kebijakan teknis operasional, antara lain pembinaan, standardisasi, fasilitasi, kriteria umum, dan kontrol.
Pemerintah Daerah Propinsi yang memiliki kewenangan otonomi terbatas sebagaimana disebutkan dalam UU 32/2004, berwenang dalam menetapkan kebijakan penataan ruang daerah propinsi yang meliputi pengelolaan dan perencanaan pembangunan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, seperti wilayah aliran sungai, hutan lindung, sempadan pantai, dll. Pada tingkat propinsi, penataan ruang mencakup hal-hal sebagai berikut: ketentuan (regulation) dan peraturan (legislation) yang berlaku untuk wilayah propinsi, kebijakan dan program pokok, standar dan panduan (guidelines) yang sesuai dengan karakter fisik, sosial dan budaya propinsi, mekanisme pengaduan dan inventarisasi sumber daya alam.
Pemerintah Daerah Kabupaten/kota memiliki kewenangan otonomi penuh (kecuali lima urusan), berwenang dalam menetapkan kebijakan penataan ruang daerah kabupaten/kota. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan demikian bertanggung jawab terhadap pemanfaatan ruang di daerahnya. Dalam melaksanakan wewenang itu adalah merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bahwa kepentingan-kepentingan utama dalam pemanfaatan ruang didengar dan diakomodasikan.
Kewenangan dalam bidang penataan ruang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian perkembangan ruang. Termasuk didalam pengertian ruang ini adalah tanah milik negara maupun perorangan, hutan, perairan, dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya, kecuali yang menurut peraturan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengaturnya.
Secara lebih rinci, fungsi penataan ruang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah menyusun arahan, tujuan dan kebijakan penataan ruang; merumuskan struktur dan proses-proses penataan ruang; menentukan peraturan hukum mengenai produk dan proses penataan ruang; mengkaji dan mengesahkan rencana tata ruang kawasan-kawasan; membuat sistem implementasi rencana tata ruang; dan membentuk dukungan informasi untuk penataan ruang yang dilakukan oleh masyarakat maupun institusi pemerintah.
Dalam melaksanakan fungsi penataan ruang itu, sistem administrasi untuk menjalankan program penataan ruang perlu dibentuk atau disesuaikan, misalnya untuk memperkuat mekanisme koordinasi antara instansi-instansi pemakai ruang di kabupaten/kota. Kapasitas instansi penataan ruang juga perlu ditingkatkan. Selanjutnya program-program penataan ruang perlu dijabarkan dalam proyek-proyek pembangunan dan ketentuan/peraturan yang sesuai.
Materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi antara lain: kerangka sistem perencanaan; prinsip, tujuan, kebijakan strategis; panduan penataan ruang kabupaten/kota; institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); dan indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota juga perlu melakukan koordinasi untuk memadukan rencana-rencana tata ruang dan kebijakan pengelolaan sektor-sektor SDA, berhubungan dengan institusi lain (internasional, pusat, propinsi, lokal, penduduk asli), mengkoordinasikan hasil-hasil penataan ruang dengan program-program sosial-ekonomi. Hubungan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain dan dengan propinsi juga mungkin perlu dibentuk untuk menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang yang terjadi.
Hal lain yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan penataan ruang di masa depan adalah menyangkut pemantauan pemanfaatan dan perkembangan ruang. Hal-hal yang perlu dikaji dalam hal ini adalah antara lain: keefektifan sistem penataan ruang secara menyeluruh, kemajuan dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan, hubungan antara proses-proses perencanaan dan initiatif-inisiatif pemanfaatan ruang, kesesuaian dari berbagai rencana tata ruang kawasan-kawasan
Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang juga penting adalah menyebarluaskan informasi penataan ruang, yang antara lain meliputi kegiatan menyusun standar dan kaidah pengumpulan informasi, mengkompilasi dan memelihara serta mengupdate informasi tentang ruang, membentuk metoda evaluasi teknis untuk permohonan persetujuan rencana, melakukan riset berkaitan dengan penatan ruang, dan menyuguhkan informasi tersebut secara mudah kepada masyarakat.

VI. KESIMPULAN
Dalam era otonomi daerah yang semakin luas, peran pemerintah daerah kabupaten/kota akan sangat menonjol. Pemerintah daerah kabupaten/kota mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang sangat besar dalam penataan ruang wilayah. Berbagai fungsi-fungsi penataan ruang yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat atau propinsi akan harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Pemerintah daerah kabupaten/kota perlu mendapat dukungan dari semua pihak untuk dapat menjalankan fungsi yang sangat penting ini dalam mewujudkan tata ruang Indonesia yang efisien, indah, tertib dan lestari.

–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef; Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, 1996
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985
Winarso, Haryo e.al (eds); Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, 2002

Perencanaan Dan Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Megapolitan

September 19, 2007

1. PENDAHULUAN
Pembangunan suatu kota tidak dapat terlepas dari pembangunan wilayah sekitarnyanya, “Prosperous Cities Make Prosperous Regions, dan sebaliknya”. Pertumbuhan ekonomi satu kota akan memacu pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Intensitas keterkaitan kota dengan wilayah sekitarnya dipengaruhi oleh adanya kesamaan lingkungan ekosistem dan topografi, infrastruktur, aliran barang dan jasa, aktivitas ekonomi, dan sebagainya.
Dalam pengelolaan kawasan megapolitan, di mana terdapat satu kota pusat dan wilayah sekitarnya yang juga terdapat kota-kota besar, batas wilayah kawasan tersebut seringkali tidak sama dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, maka perencanaan tata ruang seringkali sulit dilakukan. Kondisi ini menyebabkan kawasan megapolitan berkembang tidak sesuai dengan dengan tuntutan kebutuhan suatu kawasan megapolitan yang layak.
Makalah ini membahas perbedaan definisi metropolitan dan megapolitan yang sering dicampuradukkan, status kawasan Jakarta, konsep daya saing kota, tantangan yang dihadapi kawasan megapolitan Jabodetabek, dan kebijakan untuk pengelolaan kawasan megapolitan yang lebih sustainable.

1.1. METROPOLITAN DAN MEGAPOLITAN
Konsep megapolitan muncul dari adanya fakta pertumbuhan kota metropolitan yang sangat pesat dan memacu wilayah di sekitarnya menjadi kumpulan kota mikropolitan ataupun kota metropolitan baru. Menurut Gottmann, Jean (1987) …the Megapolitan concept seems to have popularized the idea that the modern cities are better reviewed not in isolation, as centers of a restricted area only, but rather as parts of “city systems” as participation in urban networks revolving in widening orbits. Perekonomian wilayah telah berkembang di luar batas satu kawasan perkotaan. Atas dasar ini, konsep megapolitan terbentuk, yaitu satuan wilayah geografis yang luas yang terhubungkan oleh aktivitas perekonomian wilayah.
Kriteria kawasan megapolitan sendiri saat ini masih menjadi perdebatan antara pemerintah, perencana wilayah dan kota, perencana lingkungan, pakar statistik kependudukan, bahkan para budayawan. Kawasan megapolitan dapat dipandang sebagai kawasan dengan kepadatan penduduk tinggi, memiliki keterkaitan erat dengan wilayah di sekitarnya baik keterkaitan fisik (transportasi, jaringan air bersih, energi dan listrik), keterkaitan lingkungan (kawasan hulu dan hilir – DAS), maupun keterkaitan fungsi ekonomi (aliran uang, barang, dan jasa) dilihat dari kondisi eksisting maupun proyeksi pertumbuhan wilayah.
Perbedaan mendasar antara metropolitan dan megapolitan adalah kawasan megapolitan tidak identik dengan adanya komuter dari kawasan sub urban ke kawasan urban seperti halnya kawasan metropolitan, meskipun kedua kawsan tersebut sama-sama memperlihatkan keterkaitan ekonomi, namun karena umumnya kawasan megapolitan mencakup wilayah yang sangat luas sehingga hampir tidak memungkinkan adanya perjalanan komuter harian (daily trips).
Berdasarkan hasil sensus yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Metropolitan Institute Census Report Series (MICRS) pada Juli 2005 telah teridentifikasi 10 Kawasan Megapolitan di Amerika Serikat yang merupakan gabungan beberapa kawasan metropolitan dengan total populasi penduduk mencapai 10 juta jiwa.
Kriteria kawasan megapolitan yang digunakan pada kegiatan sensus tersebut tidak hanya diindikasikan oleh tingginya jumlah penduduk di satu wilayah dan wilayah sekitarnya, lebih dari itu, dilakukan berbagai survey dan analisis secara mendalam dari aspek-aspek antara lain:
1. Terbentuk dari dua atau lebih kawasan metropolitan eksisting;
2. Jumlah penduduk kota inti lebih dari 1 juta jiwa, sementara kota-kota disekitarnya memiliki jumlah penduduk antara 50.000 – 1 juta jiwa;
3. Karakteristik kota-kota metropolitan yang tergabung dalam satu wilayah geografis;
4. Pembentukan jaringan perkotaan melalui keterkaitan ekonomi atau aktivitas manusia;
5. Keterkaitan lingkungan, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya;
6. Keterkaitan infrastruktur dan proyeksi kebutuhan infrastruktur;
7. Keterkaitan budaya yang mencakup sejarah wilayah dan masyarakatnya.

2. KAWASAN JAKARTA DSK, METROPOLITAN ATAU MEGAPOLITAN?
Kota Jakarta merupakan salah satu kota besar dari beberapa kota besar di seluruh dunia yang mempunyai perkembangan sangat dinamis. Permasalahan utama yang dihadapi kota Jakarta dimulai ketika sekitar tahun 1970-an Jakarta berkembang menjadi sebuah kota besar. Perkembangan kota Jakarta pada akhirnya tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi, bahkan sudah menyambung dengan wilayah kota di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok yang membentuk wilayah metropolitan Jabodetabek.
Hubungan antara Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya merupakan hubungan yang saling melengkapi. Kota inti menyediakan banyak peluang usaha bagi kota pendukungnya, sebaliknya kota pendukung memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang keberlanjutan pembangunan wilayah secara keseluruhan. Misalnya (i) menjaga fungsi hidrologis kawasan dan fungsi daya dukung lingkungan, (ii) mendukung penyediaan lahan bagi kawasan permukiman, dan sebagainya. Namun, tingginya pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan Jabodetabek dan tingginya jumlah pergerakan baik di dalam kota inti maupun antara kota pendukung dengan kota intinya telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain:
Berlangsungnya proses penyatuan kota-kota secara fisik sehingga memerlukan pengelolaan penataan ruang yang lebih integratif baik lintas sektoral maupun daerah. Telah terjadi gangguan serius pada kawasan penyerapan air tanah, karena adanya perubahan fungsi lahan, pengurugan situ, penyempitan sungai dan lain-lain yang mengakibatkan menurunnya kemampuan alam dalam menyediakan air baku untuk air bersih dan sering terjadi bencana banjir terutama pada wilayah hilir dan dataran rendah.
Penduduk pada kawasan perumahan baru di wilayah Botabek pada umumnya bekerja di wilayah DKI Jakarta sehingga perkembangan perekonomian secara regional tetap tidak berubah. Jumlah komuter dari wilayah Botabek ke wilayah DKI Jakarta setiap harinya mencapai ± 2 juta orang. Pembangunan kawasan perumahan maupun industri di wilayah Botabek hanya mengandalkan infrastruktur yag ada.

Analisis Pertumbuhan Penduduk Jabodetabek
Analisis jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 menggambarkan jumlah penduduk di Kawasan Jabodetabek, berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Dari tabel tersebut terlihat bahwa wilayah DKI Jakarta dihuni oleh lebih dari 8 juta jiwa dengan kepadata penduduk 12.500 jiwa/km2, dan dikelilingi oleh kawasan berpenduduk antara 350 ribu – 1,8 juta jiwa dengan kepadatan penduduk berkisar antara 600 – 5.000 jiwa/km2.

Tabel 1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kawasan Jabodetabek Tahun 2000
Kab/Kota
Luas Wilayah (km2)
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Kab Tangerang
1,230.00
1,392,307
1,131.96
Kab Bekasi
1,261.88
835,395
662.02
Kab Bogor
344.72
1,830,433
5,309.91
Kota Tangerang
164.31
665,079
4,047.71
Kota Bekasi
210.49
828,717
3,937.08
Kota Bogor
118.50
378,365
3,192.95
Kota Depok
200.29
578,089
2,886.26
Jakarta Barat
127.11
1,904,191
14,980.65
Jakarta Pusat
48.17
874,595
18,156.43
Jakarta Selatan
145.73
1,784,044
12,242.12
Jakarta Utara
154.11
1,436,336
9,320.20
Jakarta Timur
187.73
2,347,917
12,506.88
TOTAL
4,193.04
14,855,468
3,542.89
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000. BPS.

Tabel 2. Proyeksi Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kawasan Jabodetabek Tahun 2005 dan 2010
Kab/Kota
Luas Wilayah (km2)
Proyeksi Jml Penduduk (Jiwa)
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Th 2005
Th 2010
Th 2005
Th 2010
Kab Tangerang
1,230.00
1,489,594
1,588,184
1,211.05
1,291.21
Kab Bekasi
1,261.88
893,768
952,923
708.28
755.16
Kab Bogor
344.72
1,958,334
2,087,948
5,680.94
6,056.94
Kota Tangerang
164.31
711,551
758,646
4,330.54
4,617.16
Kota Bekasi
210.49
886,624
945,305
4,212.19
4,490.98
Kota Bogor
118.5
404,803
431,595
3,416.06
3,642.16
Kota Depok
200.29
618,483
659,418
3,087.94
3,292.31
Jakarta Barat
127.11
1,981,587
2,045,815
15,589.55
16,094.84
Jakarta Pusat
48.17
910,143
939,643
18,894.40
19,506.81
Jakarta Selatan
145.73
1,856,557
1,916,732
12,739.70
13,152.62
Jakarta Utara
154.11
1,494,716
1,543,163
9,699.02
10,013.39
Jakarta Timur
187.73
2,443,348
2,522,543
13,015.23
13,437.08
TOTAL
4,193.04
#####
#####
3,732.26
3,909.32
Sumber : Hasil Analisis, 2005 dari Sensus Penduduk Th 2000 dan Proyeksi Penduduk Indonesia Th 2000-2025. Bappenas-BPS-UNFPA.
Keterangan : Asumsi Tingkat pertumbuhan nasional Th 2000-2005 = 1,36%
Th 2005-2010 = 1,29%. Asumsi Tingkat pertumbuhan DKI Jakarta Th 2000-2005 = 0,8%. Th 2005-2010 = 0,64%

Tabel 2 menggambarkan hasil proyeksi jumlah penduduk dengan asumsi luas wilayah administrasi tetap dan tingkat pertumbuhan penduduk yang beragam di setiap wilayah. Secara nasional, tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,36% per tahun untuk jangka waktu 2000-2005, dan turun menjadi 1,29% per tahun untuk jangka waktu 2005-2010. Untuk DKI Jakarta, tingkat pertumbuhan penduduk lebih rendah dibanding nasional, yaitu 0,8% per tahun untuk jangka waktu 2000-2005, dan turun menjadi 0,64% per tahun untuk jangka waktu 2005-2010.
Meskipun ada perbedaan tingkat pertumbuhan pada periode waktu 2000-2005, wilayah DKI Jakarta masih harus menampung penduduk sebanyak 56% dari jumlah penduduk Jabodetabek pada tahun 2005 di wilayah yang luasnya hanya 16% dari luas wilayah Jabodetabek. Dengan begitu, wilayah DKI Jakarta masih menjadi pusat hampir semua kegiatan dan permukiman.
Mengacu pada kriteria kawasan megapolitan menurut MICRS, dari aspek jumlah penduduk maka Jabodetabek pada Tahun 2000 dan ke depannya telah dapat disebut sebagai Kawasan Megapolitan. Namun, kriteria kawasan megapolitan tidak hanya ditentukan oleh tingginya konsentrasi jumlah penduduk, tapi juga intensitas kegiatan fisik dan keterkaitan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem. Penetapan wilayah DKI Jakarta sebagai megapolitan tidak terlepas dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk di wilayah Bodetabek. Untuk menjawab hal itu, perlu dilakukan pendataan gabungan yang tidak terikat pada wilayah administrasi, yaitu pendataan mengenai kondisi demografi, fisik geografi dan lingkungan hidup, inter-koneksi jaringan infrastruktur, keterkaitan ekonomi (multi inter regional input output – MIRIO), budaya masyarakat, dan sebagainya.

3. DAYA SAING KOTA
Masa depan suatu kota ditentukan oleh daya saingnya. Banyak perdebatan tentang pengertian daya saing kota. Michael Storper mendefinisikan bahwa daya saing kota adalah kemampuan ekonomi dalam menarik dan menjaga perusahaan-perusahaan agar mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar dari produk yang dihasilkannya, sekaligus meningkatkan standar hidup bagi semua pihak yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Daya saing kota bukan hanya sekedar pendapatan perusahaan saja, tetapi juga bagaimana pendapatan tersebut bisa sampai ke rumah tangga. Selain itu, daya saing berbeda dengan persaingan. Persaingan bisa menuju permainan menang-kalah, dalam artian jika kota yang satu menang, maka yang lainnya kalah. Jika setiap kota dapat menambah daya saing mereka dalam waktu yang sama, maka seluruh kota dan ekonomi nasional akan tumbuh dan bermanfaat secara simultan.
Daya saing kota dapat dilihat dari beberapa indikator berikut:
· Keberagaman ekonomi
· Tenaga Kerja yang terlatih
· Keterkaitan antara faktor internal dan eksternal
· Kemampuan untuk menggerakkan dan mengimplementasikan berbagai strategi pengembangan dalam jangka panjang
· Inovasi dalam perusahaan dan organisasi
· Kualitas hidup dalam tata ruang
· Keberagaman Ekonomi

Kota yang paling sukses dalam menghadapi perubahan ekonomi, adalah yang tidak tergantung terhadap satu sektor ekonomi saja. Kota yang tergantung terhadap satu sektor, misalnya untuk kota-kota lama adalah tergantung pada produksi batu bara, baja, perkapalan atau kota-kota baru adalah pelayanan keuangan, telepon nirkabel. Kota yang mampu bersaing akan mempunyai kekuatan karena terdapat perusahaan lokal dan global, besar dan kecil, manufaktur serta jasa, sektor ekonomi lama maupun yang baru. Kota dapat membangun kekuatan sektor ekonomi yang tangguh dimana tidak terdapat faktor-faktor lokal. Caranya adalah bekerja dengan apa yang dimiliki dan dikembangkan. Tenaga ahli yang mempunyai keahlian merupakan ciri utama dari kota yang mampu bersaing. Kemajuan ekonomi modern tergantung atas sektor-sektor pengetahuan, bahkan dalam sektor manufaktur. Pembuat kebijakan umumnya memberikan penilaian yang tinggi terhadap karakter ini. Karakter pengetahuan menunjukkan faktor yang sangat penting dalam sektor swasta. Disamping itu, data perbandingan di berbagai kota besar menunjukkan bahwa hubungan antara tenaga kerja yang terlatih terhadap inovasi dan tingkat PDB adalah ciri kota yang paling mampu bersaing.
1.2. Konektifitas – Internal dan Eksternal
Dalam kota besar terdapat signifikansi komunikasi internal dan eksternal baik secara fisik, elektronik maupun melalui budaya. Kota-kota yang sukses memiliki infrastruktur fisik dan elektronik untuk mendistribusikan barang, jasa dan manusia secara cepat dan efisien. Hubungan eksternal adalah penting karena ekspor tetap penting bagi kesuksesan kota. Dengan demikian, bandar udara juga sangat penting. Fasilitai komunikasi tatap muka juga esensial, dan tidak dapat digantikan oleh teknologi komunikasi. Hal ini disebabkan komunikasi bukan hanya aspek fisik, namun juga melibatkan dimensi kultural tersendiri.
Sebagai contoh, ciri signifikan atas kesuksesan kota-kota di berbagai belahan dunia adalah bahwa mereka memberikan perhatian besar pada internasionalisasi kota dan adanya kebijakan berhubungan dengan negara lain yang dikeluarkan oleh pemerintah kota tersebut. Jakarta seharusnya menginvestasikan waktu dan usaha dalam international networking untuk meningkatkan profilenya, memperoleh sahabat baru, memperluas pasar, mempengaruhi pembuat kebijakan dan mempelajari strategi dan praktek-praktek baru.
1.1.1. Kapasitas Pengambilan Keputusan Strategis
Sistem, dan institusi membentuk daya saing/kompetisi, namun proses dan politik juga sama berpengaruhnya. Kota-kota yang maju cenderung memperhatikan pentingnya jaringan dan hubungan antara pemain inti dalam sektor pemerintah dan sektor swasta; pentingnya politisi handal dalam membentuk strategi atau mempengaruhi program kunci. Strategi daya saing ekonomi harus dibentuk dan diimplementasikan – mereka tidak muncul dengan sendirinya. Dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk membangun dan menerapkannya. Kota-kota yang kompetitif selalu menekankan pada konsep visi, kepemimpinan, kerjasama dan politik dalam membentuk pembangunan jangka panjang.
1.1.2. Inovasi dalam Perusahaan dan Organisasi
Empat ciri yang meningkatkan daya saing kota di era globalisasi ini adalah: investasi dalam peralatan fisik berbasis pengetahuan modern; investasi dalam penelitian dan pendidikan; investasi dalam inovasi; dan produktivitas pekerja. Pengetahuan dan inovasi saling terkait, dan merupakan pendorong untuk daya saing. Industri berbasiskan pengetahuan adalah kunci inovasi dan pembangunan standar hidup internasional. Inovasi diartikan sebagai penerapan terhadap proses, jasa atau bentuk yang baru atau yang diperbaiki. OECD memperkirakan bahwa antara tahun 1970 dan 1995 lebih dari setengah pertumbuhan total dari GDP adalah sebagai hasil inovasi. Dan oleh karena aktivitas ekonomi umumnya terkonsentrasi didaerah kota, maka pengetahuan dan inovasi adalah kontributor utama dari pertumbuhan ekonomi dan daya saing wilayah lebih luas. Komisi Eropa memperkirakan lebih dari 40% variasi dalam pendapatan perkapita lokal dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam kemampuan inovasi.
Hanya sedikit perhatian diberikan kepada sistem inovasi yang bercorak lokal dibandingkan dengan inovasi yang bercorak nasional. Namun perbedaan dalam penataan sistem inovasi lokal dapat membuat perbedaan terhadap kemampuan ekonomi wilayah kota dan meningkatkan prospek bahwa praktek yang baik dapat ditransfer dari daerah yang berdaya saing tinggi kepada yang kurang. Ada 3 model yang mungkin diimplementasikan dari inovasi lokal. Model inovasi grassroot adalah model pasar tersebar dengan minimnya koordinasi dari luar. Dalam model kemitraan, kemitraan bertingkat yang terbentuk mencari persetujuan antar perusahaan, bank, lembaga pendidikan dan berbagai lapisan pemerintahan. Dalam model tuntunan, inovasi lebih sering dimulai terutama oleh Pemerintah pusat.
Inovasi adalah kunci kesuksesan kota-kota. Tujuan strategi utamanya adalah merubah pengetahuan teknis menjadi proses dan produk yang inovatif. Adalah tidak umum ada kota yang memiliki kebijakan berkoordinasi untuk berinvestasi dalam inovasi. Beberapa kota telah merubah hal ini. Meskipun demikian, masih jarang sekali beberapa kota bersama-sama memiliki strategi untuk meningkatkan investasi bersama dalam inovasi. Kota-kota seperti ini akan tertinggal 2 atau 3 dekade oleh kota-kota yang berdaya saing tinggi.
Kualitas Hidup. Faktor lokasi yang baik menjadi sangat penting dalam pengambilan keputusan ekonomi. Salah satu upaya penting adalah menarik dan mempertahankan pekerja yang terlatih ke suatu kota. Hal ini dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Kota-kota dengan aset lingkungan yang baik, arsitektur yang indah, fasilitas budaya yang khas, makanan lokal yang melimpah, akses terhadap lingkungan yang alami perlu dilestarikan. Beberapa kota memiliki campuran dari beberapa karakteristik tersebut, dan pembuat keputusan mereka mencoba untuk meningkatkan karakteristik tersebut. kota yang tidak mempunyai karakteristik seperti itu, mencoba menciptakannya.
Kota-kota harus aktif mencari cara untuk meningkatkan kualitas hidup kota yang kemudian ditawarkan kepada investor dan untuk menarik tenaga kerja terampil. Kualitas hidup bukan variabel sangat penting seperti inovasi, keberagaman dan konektifitas, namun akan semakin penting. Banyak penelitian menunjukkan pentingnya perencanaan kota dalam kota yang terus berkembang. Perencanaan dapat mengurangi polusi udara, kemacetan lalu lintas, sekaligus menyediakan sanitasi, sistem tata air, dan pertamanan kota, yang kesemuanya dapat meningkatkan daya saing kota dalam sistem global. Perencana tata ruang harus dapat mengantisipasi permintaan masyarakat akan transportasi publik, dan membantu menciptakan kondisi yang dapat mencegah penurunan kondisi kehidupan kota, yang dapat membahayakan prospek ekonomi kota.

1.3. TANTANGAN KAWASAN MEGAPOLITAN JABODETABEK
Untuk mewujudkan kawasan megapolitan Jabodetabek yang berdaya saing tinggi, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi.
1.1.3. Kemampuan berkompetisi dalam pengetahuan berbasis ekonomi
Pada saat sekarang keuntungan “knowledge economy” dalam kompetisi meningkat tajam dengan fokus kepada kelompok-kelompok bisnis kecil dibandingkan dengan kemampuan perusahaan yang berdiri sendiri. Untuk dapat meningkatkan daya tarik sebagai suatu lokasi untuk cluster, Jakarta harus fokus kepada upaya untuk menciptakan institusi pendidikan dalam bidang penelitian dan inovasi. Aset ini perlu didukung oleh lingkungan kelembagaan yang akan memberi dampak positif terhadap perkembangan jaringan antar perusahaan.
1.1.4. Menciptakan kosmopolitan sebagai suatu realitas
Kawasan perkotaan merupakan tempat dengan berbagai kelompok orang dan kepentingan. Hal ini akan menciptakan masyarakat kosmopolitan dan menciptakan berbagai kemajuan dalam inovasi dan budaya. Keberadaan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda di Jakarta perlu memberikan kesan positif sehingga meningkatkan daya tarik Jakarta untuk menarik investasi strategis.
1.1.5. Penanggulangan Polarisasi Sosial
Daya saing terkait erat dengan distribusi kekayaan. Lingkungan yang layak untuk menciptakan kesejahteraan akan menghilang apabila kekayaan didistribusikan secara tidak merata yang pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap terjadinya ketegangan dan polarisasi sosial. Dengan demikian, kapasitas Jakarta sebagai kota berdaya saing tinggi dapat dilihat dari kemampuannya untuk mencegah terjadinya distribusi kekayaan yang tidak merata diantara masyarakat.
1.1.6. Mewujudkan keberlanjutan lingkungan hidup
Jakarta perlu memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendapatkan keuntungan dari jasa pelayanan, fungsi ekonomi dan aktivitas rekreasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jakarta perlu mencapai keseimbangan terbaik antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan kualitas lingkungan buatan dan alami. Agar berdaya saing tinggi, Jakarta harus mampu memenuhi kebutuhan akan lingkungan yang aman dan menarik bagi semua orang. Perencanaan tata ruang kota jakarta tidak dapat dilepaskan dari perencanaan tata ruang wilayah yang lebih luas.
1.1.7. Mewujudkan pemerintahan yang dapat memenuhi tujuan ekonomi dan sosial
Di kawasan megapolitan sering terjadi fragmentasi antara kewenangan pemerintah daerah dengan mekanisme koordinasi dalam pengambilan keputusan untuk menentukan arah kebijakan yang diinginkan. Kebijakan pemerintah-pemerintah dalam kawasan megapolitan seharusnya saling sinergis, mengingat manfaat bersama yang dihasilkan dari adanya kerjasama yang saling menguntungkan. Selanjutnya, perlu dijawab bagaimana sistem pengelolaan kawasan metropolitan/megapolitan Jabodetabek, apakah: akan menjadikan DKI Jakarta menjadi satu pemerintahan dengan wilayah Bodetabek? Atau tetap dalam pemerintahan masing-masing, tapi dibentuk komitmen berdasarkan kebutuhan bersama dan tekad untuk mampu menanggulangi tantangan yang ada.

1.4. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN MEGAPOLITAN
Pengelolaan kawasan megapolitan Jabodetabek hendaknya mampu mengantisipasi berbagai permasalahan akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan fungsi lahan kawasan perkotaan akibat dinamika kegiatan pembangunan di kawasan perkotaan. Pertumbuhan dan perkembangan kawasan megapolitan Jabodetabek yang pesat dan dinamis perlu diarahkan secara terencana dan terpadu dalam penataan perkotaan sebagai suatu sistem perkotaan maupun secara individu perkotaan.
1.1.8. RPP tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan
1.4.a.1. Kelembagaan
Pengelolaan metropolitan yang berada dalam satu daerah kabupaten kelembagaannya diatur oleh Bupati. Sementara bagi metropolitan yang mencakup dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota yang berbatasan langsung, maka pengelolaannya dilakukan atas dasar kesepakatan kerjasama antar daerah.
Dalam rangka kerjasama antar daerah dapat dibentuk badan metropolitan yang erfungsi sebagai penyelenggara pengelolaan metropolitan sesuai kesepakatan kerjasama antar daerah, misalnya meliputi:
1. Penyusunan program dan pemberian izin bagi kegiatan dan pelayanan lintas daerah dalam kawasan metropolitan;
2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di kawasan metropolitan.
Dalam rangka mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan perkotaan dapat dibentuk forum perkotaan yang terdiri dari perwakilan pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. Forum ini dapatsecara aktif ikut serta dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan, penyusunan rencana tata ruang, penyusunan program pembangunan dan pengawasan jalannya pembangunan.
1.4.a.2. Pembiayaan
Pembiayaan badan metropolitan dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dari masing-masing pemerintah daerah yang disepakati bersama, atau bersumber dari pendapatan lain yang dapat dipertanggungjwabkan.
1.4.a.3. Rencana Tata Ruang
Tata ruang kota adalah cerminan proses pembentukan kota yang memperlihatkan fenomena budaya dan transformasinya. Struktur ruang dan pola pemanfaatn ruang saat ini memberi gambaran mengenai sejarah perkembangan kota tersebut.
Rencana tata ruang metropolitan merupakan rencana struktur yang bersifat lebih makro dibandingkan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana tata ruang metropolitan berisi rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang metropolitan, yang meliputi:
1. pengembangan sistem pusat-pusat permukiman
2. pengembangan kawasan
3. pengembangan sistem prasarana dan sarana primer
4. Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya
5. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang metropolitan

Rencana tata ruang metropolitan menjadi pedoman untuk:
1. Arahan lokasi dan investasi kegiatan skala besar serta infrastruktur primer;
2. Perumusan kebijakan pokok pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah kota inti dan wilayah pengaruhnya;
3. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan kota inti dan wilayah pengaruhnya;
4. Penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang berada dalam satu kawasan metropolitan.
1.1.9. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-209
Menyeimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu ‘sistem pembangunan perkotaan nasional.’ Untuk itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages) di masing-masing kota sesuai dengan hirarkinya. Hal ini perlu didukung dengan:
1. Peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antar kota-kota tersebut;
2. Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan karakteristik masyarakat;
3. Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan ‘backward linkages’ dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’;
4. Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu ‘sistem wilayah pembangunan metropolitan’ yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan.
Kota-kota metropolitan yang dimaksud adalah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), Bandung-Raya, Mebidang (Medan-Binjai-Deli-Serdang), Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya -Sidoarjo-Lamongan), Kedungsepur (Kendal-Unggaran-Semarang-Purwodadi), Sarbagita (Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan), dan Maminasata (Makasar-Maros-Sungguminasa-Takalar).

1.1.10. Raperpres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek Punjur
PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, mengkategorikan Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai kawasan tertentu, yang memerlukan penanganan khusus.
Tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabek Punjur adalah untuk :
1. keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan;
2. mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta penanggulangan banjir;
3. mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah, bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan Jabodetabek Punjur:
1. terwujudnya kerjasama penataan ruang antar pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Kawasan Jabodetabek Punjur yaitu :
2. sinkronisasi pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk;
3. sinkronisasi pengembangan prasarana dan sarana wilayah secara terpadu;
4. kesepakatan antar daerah untuk mengembangkan sektor-sektor prioritas dan kawasan-kawasan prioritas menurut tingkat kepentingan bersama.
5. terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna.
6. tercapainya optimalisasi fungsi budidaya.
7. tercapainya keseimbangan antara fungsi lindung dan fungsi budidaya.

1.5. KESIMPULAN
Dari uraian di atas salah satu upaya penting untuk mengembangkan wilayah Jabodetabek sebagai suatu megapolitan adalah perlunya badan koordinasi semacam Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek, yang sistem dan struktur kelembagaannya disesuaikan dengan perkembangan wilayah dan administrasi pemerintahan. BKSP Jabodetabek dapat diberi kewenangan penuh dalam pengelolaan dan perencanaan penataan ruang wilayah, meniru badan yang dibentuk untuk mengelola Metropolitan Manila Area (MMDA-Metropolitan Manila Development Authority) yang melakukan antara lain perencanaan program pembangunan, pengelolaan transportasi dan lalu lintas, pengelolaan persampahan, limbah cair, dan limbah padat, perencanaan kota, zonasi, dan penggunaan lahan, keamanan publik, dan pengendalian polusi dan sanitasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kota-kota dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era Desentralisasi di Indonesia. East Asia Urban Working Paper Series. 2003.
2. Sensus Penduduk Tahun 2000. BPS. 2000
3. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. Bappenas-BPS-UNFPA. 2005.
4. Dari Metropolitan ke Megapolitan. Koran Tempo. 23 Februari 2005.
5. Coordinating Local Governments in Megacities. Vol. 4 Partnership for Better Municipal Management. Conference Papers and Proceedings Asian Cities in the 21st Century. http://www.adb.org/Documents/Conference/Asian_Cities_4/default.asp
6. The Challenge for Cities in the 21st Century.
7. E. Lang Robert and Dhavale, Dawn. Beyond Megalopolis: Exploring America’s New “Megapolitan” Geography. Metropolitan Institute Census Report Series. 2005.

Peran Pusat Dan Perlunya Forum Nasional Perkotaan

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini menimbulkan gejala positif berupa semangat yang menggebu-gebu dari pemerintah daerah untuk membangun daerahnya, apakah itu kota, kabupaten atau provinsi. Semangat membangun daerah ini terkadang berkembang terlampau jauh sehingga menolak segala sesuatu yang datangnya dari pusat, kecuali dana. Sebaliknya, pemerintah Pusat menjadi bimbang mengenai peran apa yang seharusnya diemban, dengan kewenangan dan kewajiban yang semakin sedikit. Upaya yang dilakukan dengan penuh semangat pada masa-masa dahulu kini justru dianggap keliru, karena mencampuri urusan daerah, sementara kalau hanya mengerjakan urusan Pusat sesuai undang-undang, waktu kerja total seluruh karyawan Pusat tidak akan termanfatkan sepebuhnya. Tulisan ini akan mengulas peran pusat dalam pembangunan perkotaan pada era otonomi daerah yang luas sekarang ini, dan mengedepankan ide pembentukan forum nasional perkotaan untuk menyatukan visi dan langkah-langkah membantu pemda membangun kota masing-masing.
Makalah ini mengulas beberapa isu penting dalam pembangunan perkotaan, fungsi pemerintah pusat yang berbeda dahulu dengan saat ini, dan perlunya forum perkotaan yang mensinergikan berbagai pemikiran dan upaya dalam membangun kota-kota.

II. ISU-ISU PERKOTAAN
Perkotaan memberikan kontribusi yang tinggi pada perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat, antara lain melalui penciptaan pendapatan, kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, meningkatkan penerimaan negara, dll. Sejalan dengan intensitas urbanisasi yang akan semakin tinggi di masa depan, maka pengembangan perkotaan perlu diarahkan sehingga urbanisasi dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kemajuan bangsa.
Masalah perkotaan berbeda antara satu kota dengan kota lain, namun pada umumnya kota-kota di Indonesia menghadapi masalah prasarana dan sarana yang terbatas, pelayanan umum yang tidak memadai, kepenuhsesakan, pencemaran, kemacetan, kriminalitas yang tinggi. Walaupun masalah-masalah perkotaan cenderung mirip antara satu kota dengan kota yang lain, solusi pada masing-masing kota tidak harus sama. Setiap kota perlu mempunyai strategi pembangunan perkotaan. Kebijakan desentralisasi memberikan pemerintah daerah kewenangan yang luas untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan kota. Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk mengatasi masalah-masalah kota yang spesifik, dalam menyediakan prasarana dan sarana serta pelayanan umum bagi warga kota.[1]

III. PERAN PEMERINTAH PUSAT
Untuk membantu pemerintah daerah mengatasi tantangan dan kendala yang dihadapi, pemerintah pusat mempunyai peran yang cukup strategis, antara lain dalam (i) mengusahakan akses pada sumber-sumber pendanaan, (ii) meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah, dan (iii) menyediakan informasi.
Dalam membantu pemerintah daerah untuk memperoleh dana untuk pembangunan prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah pusat perlu membuat peraturan yang mendukung, membentuk kelembagaan yang diperlukan, mengusahakan dana dari berbagai sumber mengalir ke lembaga pendanaan tersebut. Di berbagai negara, pemerintah pusat dan daerah membentuk skim Municipal Development Plan (MDF) yang dikelola oleh organisasi yang profesional. Sebagai contoh, Pemda Parana di Brazil menyalurkan dana pinjaman berbunga rendah dari Inter-American Developmnet Bank kepada Paranacidade, lembaga pengelolaan dana yang independen, untuk diteruspinjamkan kepada pemerintah kota-kota kecil (kurang dari 50.000 orang) di daerah tersebut guna diinvestasikan pada pembangunan prasarana dan sarana kota. Agar pengembalian dari pemerintah-pemerintah kota berjalan lancar, maka dibuat perjanjian antara Pemda Parana dengan pemerintah-pemerintah kota untuk menyerahkan pajak penjualan yang seharusnya ditransfer ke pemerintah kota kepada Paranacidade melalui Pemda Parana.
Pihak-pihak yang eligible untuk mendapatkan pinjaman MDF ini adalah pemerintah kota, perusahaan daerah, perusahaan utilitas seperti air bersih, persampahan, sanitasi, listrik, dll. MDF tidak dapat dipinjamkan kepada perusahaan swasta biasa. Lembaga peminjam ini harus memenuhi persyaratan layak pinjam yang ditentukan dalam peraturan pemerintah yang ketat. MDF cukup menarik bagi pemerintah kota karena berbunga jauh lebih rendah dari bunga di pasar uang, sedangkan bagi Paranacidade, MDF dapat dikelola secara baik karena ada selisih tingkat bunga yang dapat digunakan untuk membiayai operasi lembaga tersebut, walaupun biaya operasionalnya relatif tinggi karena harus mengelola pinjaman yang berskala kecil dan tersebar, memerlukan biaya investasi untuk infrastruktur teknologi informasi dan peningkatan kapasitas SDM, dan untuk membiayai kantor-kantor cabang. Pinjaman yang diberikan kepada pemerintah kota juga dapat digunakan untuk menyiapkan detail design, pelatihan aparat pemerintah kota, dll.
Akses ke pasar modal memerlukan disiplin keuangan untuk meningkatkan nilai kelayakan pinjam. Mengingat bahwa antara satu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah yang lain terdapat kesenjangan sumber daya finansial yang cukup besar, maka pemerintah daerah yang lebih kaya akan berada dalam posisi lebih baik dalam memanfaatkan ketersediaan dana di pasar modal. Pemerintahan daerah yang lebih kecil akan tidak mampu untuk melakukannya karena posisi keuangan yang lemah dan ketiadaan kapasitas untuk menyiapkan usulan proyek yang layak.[2] Pemerintah pusat dapat dan perlu membantu pemerintah daerah untuk melatih aparat pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pembangunan perkotaan. Bidang-bidang pengembangan keterampilan/pengetahuan yang mungkin diperlukan oleh pemerintah daerah antara lain dalam pemerintahan kota melakukan perencanaan strategis, total quality public management, manajemen pelayanan umum, sistem dokumentasi aset, dll. Dalam sistem informasi: melakukan pemetaan digital/GIS, sistem informasi pertanahan, perangkat lunak untuk pengelolaan keuangan perkotaan, dll. Dalam perencanaan dan pengelolaan proyek: prosedur pelelangan internasional, evaluasi proyek, prosedur pengukuran kinerja, rencana teknis, DED, dll. Dalam manajemen keuangan: penetapan pajak dan retribusi, sistem penarikan pajak secara efisien, perencanaan anggaran, akuntansi publik, metoda perhitungan cost recovery, evaluasi kapasitas bayar pinjaman, dll. Dan dalam penyusunan peraturan/standar/guideline: prasarana, sarana, bangunan, tata kota, lingkungan, panduan berpartisipasi dengan pihak swasta, dll. Pemerintah pusat juga perlu menyediakan bantuan teknis kepada pemerintah daerah yang membutuhkan dalam bidang-bidang khusus seperti supervisi dan evaluasi proyek investasi skala besar, design dan implementasi rencana teknis pembangunan kota, dll. di mana banyak pemerintah daerah tidak memiliki staf yang profesional.
Peran ketiga, berkaitan dengan informasi. Salah satu kendala yang umumnya dihadapi dalam perencanaan pembangunan kota adalah ketersediaan data yang akurat, rinci dan mutakhir. Pemerintah pusat dapat mengumpulkan data secara teratur mengenai kota-kota di Indonesia, melakukan analisis dan sinkronisasi, dan hasilnya dapat disumbangkan kepada pemerintah daerah dan pemakai lain. Hal ini akan lebih efektif daripada jika dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah. Informasi rinci seperti peta-peta digital berbasis GIS, didukung foto udara, dilengkapi dengan data sosial-ekonomi, akan sangat berguna dalam perencanaan, pengelolaan dan pengendalian penggunaan lahan, penetapan PBB, dll.

IV. FORUM NASIONAL PERKOTAAN
Saat ini beberapa instansi Pusat (masih) mempunyai aktivitas yang berkaitan dengan perkotaan, sebagai pelaksanaan dari tugas pokok dan fungsi instansi sebagaimana ditetapkan dengan peraturan pembentukan instansi masing-masing. Garis-garis batas fungsi dan kewenangan pada masing-masing instansi tidak begitu jelas, sehingga dalam beberapa hal menimbulkan tumpang tindih aktivitas yang tidak produktif.
Untuk menghimpun gagasan-gagasan baik dalam mencari solusi terhadap masalah-masalah perkotaan, diperlukan suatu forum komunikasi sebagai wadah pertemuan berbagai instansi di tingkat pusat. Forum nasional perkotaan merupakan wadah menterpadukan kegiatan fasilitasi dan bantuan oleh stakeholders kepada pemerintah-pemerintah daerah oleh instansi-instansi tingkat pusat. Keterpaduan harus dilakukan secara terus menerus, tidak dilakukan secara insidentil. Forum ini dapat memberikan pandangan atas potret kondisi dan kecenderungan perkembangan perkotaan nasional yang dikemukakan oleh berbagai pihak, dan memberikan saran-saran pemecahan masalah. Dalam forum ini berbagai sudut pandang pembangunan perkotaan dipelajari dan dipertimbangkan, seperti misalnya aspek tata ruang, perumahan, dan pertanahan. Dalam forum ini berbagi pihak dapat bertukar informasi mengenai isu-isu perkotaan dengan sasaran membantu mencarikan solusi bagi pemerintah daerah (kabupaten/kota/-propinsi). Forum dapat mengundang pengamat, praktisi, pemikir, peneliti masalah perkotaan. Forum juga dapat melibatkan asosiasi pemerintah kota/daerah, LSM, lembaga internasional.
Berbeda dengan sebuah tim, yang umumnya dibentuk dengan suatu surat keputusan resmi dengan keanggotaan yang tetap, forum nasional perkotaan ini lebih fleksibel, baik dalam agenda kerja maupun keanggotaan. Forum dapat menghimbau pihak-pihak tertentu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Forum dapat dimotori oleh siapa saja, dengan semangat mencari solusi untuk masalah bersama. Forum secara periodik mengadakan pertemuan dan hasil-hasilnya dipublikasikan secara proporsional kepada pihak-pihak terkait maupun kepada masyarakat luas. Forum ini dapat menyelenggarakan musyawarah nasional forum-forum kota yang ada di daerah-daerah. Kerjasama dan networking antar instansi dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam wadah forum nasional perkotaan akan sangat membantu mewujudkan kota-kota Indonesia yang layak huni, dinamis dan berdaya saing tinggi.

V. KESIMPULAN
Perkotaan memberikan kontribusi yang tinggi pada perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. Dengan meningkatnya urbanisasi maka pengembangan perkotaan perlu diarahkan sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kemajuan bangsa. Masalah perkotaan yang umum adalah prasarana dan sarana yang terbatas, pelayanan umum yang tidak memadai, kepenuhsesakan, pencemaran, kemacetan, kriminalitas yang tinggi. Solusi pada masing-masing kota tidak selalu sama untuk itu setiap kota perlu mempunyai strategi pembangunan perkotaan. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang luas untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan kota. Namun pemerintah daerah pada umumnya saat ini tidak memiliki dana yang cukup, dengan SDM yang terbatas dan kelembagaan termasuk peraturan dan pengalaman yang kurang kondusif. Untuk membantu pemerintah daerah mengatasi tantangan dan kendala yang dihadapi, pemerintah pusat mempunyai peran yang cukup strategis, antara lain dalam (i) mengusahakan akses pada sumber-sumber pendanaan, (ii) meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah, dan (iii) menyediakan informasi.
Saat ini beberapa instansi mempunyai aktivitas berkaitan dengan perkotaan dan menimbulkan tumpang tindih yang tidak produktif. Untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah perkotaan, diperlukan suatu forum nasional perkotaan sebagai wadah menterpadukan kegiatan fasilitasi dan bantuan oleh stakeholders. Forum ini memberikan pandangan atas perkembangan perkotaan dan memberikan saran-saran pemecahan masalah, dengan melihat dari berbagai sudut pandang.

–o0o–
DAFTAR PUSTAKA
Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef; Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, 1996
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
[1] Namun di lain pihak, pemerintah daerah pada umumnya saat ini tidak memiliki dana yang cukup, dengan SDM yang terbatas dan kelembagaan termasuk peraturan dan pengalaman yang kurang kondusif. Ini merupakan tantangan terbesar setiap pemda.
[2] Mekanisme pembiayaan yang terkonsolidasi yang dirintis pemerintah pusat dapat dibangun untuk mengatasi perbedaan kapasitas finansial antar daerah ini, agar pemerintah daerah yang lemah kapasitas finansialnya mempunyai akses terhadap pasar modal domestik untuk prasarana perkotaan.

Peningkatan Investasi Daerah

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Investasi merupakan motor penggerak perkembangan ekonomi. Namun investasi tidak tumbuh dengan sendirinya jika ada berbagai kendala yang merintanginya. Makalah ini membahas permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan investasi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengembangkan kegiatan ekonomi di daerah.

II. KENDALA INVESTASI
Kendala yang banyak ditemui investor yang akan melakukan investasi adalah sebagai berikut:
1. Faktor kelembagaan dan prosedur investasi yang dianggap masih terlalu banyak persyaratannya untuk pengajuan ijin investasi
2. Pembebasan lahan yang relatif sulit, karena hampir semua lahan adalah milik rakyat, sehingga perlu dicari upaya-upaya kemitraan dalam pemanfaatan lahan antara investor dengan pemilik lahan
3. Tingginya tingkat suku bunga pinjaman komersial pada saat ini
4. Ketersediaan sumber daya manusia yang relatif rendah
5. Pembatasan wewenang pemberian kredit oleh lembaga keuangan lokal sebesar US$ 25.000, selebihnya harus ada persetujuan dari kantor pusat (Jakarta)
6. Kurangnya informasi peluang investasi
7. Kurangnya insentif fiskal bagi eksportir
8. Lembaga keuangan belum berkembang.
Jika kendala-kendala itu dapat diatasi maka peluang-peluang investasi sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap daerah akan dapat dieksplorasi oleh pengusaha lokal, nasional dan internasional.

III. BANTUAN PERMODALAN UNTUK MENDORONG INVESTASI
Salah satu kendala pengembangan industri kecil dan industri rakyat adalah kurangnya permodalan. Untuk mengatasi hal itu pemerintah telah mengembangkan sejumlah skema bantuan kredit lunak seperti Takesra, Kukesra, Kredit KUT. Bantuan kredit kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi disalurkan melalui 13 skema kredit untuk perekonomian rakyat (Tabel 1). Kredit ini mendapatkan tingkat bunga yang relatif rendah berkisar antara 8,5% per tahun hingga 16% per tahun. Namun ada juga skema kredit yang berbunga 30%.

Tabel 1
Program Skema Kredit Untuk Perekonomian Rakyat

Jenis Kredit

Penerima

Peruntukan

Plafon

Tingkat Bunga

Jangka Waktu
Pengem-balian
Kredit Usaha Tani / KUT
Petani dan keluarga petani lewat KUD/ Koperasi atau LSM
Modal kerja membiayai usaha tani intensifikasi padi/palawija dan Hortikultura
Sesuai kebutuhan
14%
1 Tahun
Kredit Kepada
Koperasi (KKOP)
Koperasi dan KUD
Biaya pengadaan dan distribusi pangan serta biaya pasca panen
Rp. 350 juta
16%
1-10 Tahun
KPRS/RSS

Masyarakat berpeng- hasilan rendah

Rp. 26,68 jta
8,5% (KPRSS)
11% (KPRS T-16
dan T-21)
14%(KPRS T-27
dan T-36)
20 Tahun
Kredit Modal Kerja Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat/Syariah (KMKP-BPR/BPRS)
BPR/BPRS
Membantu permodalan sektor usaha : usaha Produktif
Rp.15 juta
30%
Maksimal 1
Tahun
Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggota Tebu Rakyat (KKPA-TR)
Petani Tebu
Budidaya Tanaman Tebu
2-3 Ha
16%
2 Tahun
KKPA PIR Trans Kawasan Timur Indonesia (KKPA PRI KTI)
Petani plasma di KTI
Sektor usaha tanaman keras yang terkait dengan proyek pemukiman transmigrasi Baru

16%
3 Tahun
KKPA – Tenaga Kerja Indonesia
TKI dan perusahaan jasa pengiriman TKI (PJPTKI)
Sektor usaha ; usaha kecil produktif
85% dari total pem-biayaan TKI
14%
2,5 Tahun
KKPA Bagi Hasil
Nasabah pengusaha Kecil
Sektor usaha-usaha kecil produktif
Rp. 50 juta
Polanya bagi hasil yaitu dalam bentuk nisbah bagi hasil setara dengan bunga 16% per tahun apabila langsung ke Bank Muamalat dan melalui BPS dengan 28% per tahun
Modal kerja
Maksmal 11 tahun
Investasi : 15 tahun
Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM)
Pengusaha kecil dan mikro, baik individu maupun kelompok, seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima dan konfeks
Semua sektor usaha
Rp. 25 juta
16%
5 Tahun
Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna (KPTTG)
Kelompok taskin
Usaha produktif
Rp. 50 juta per kelompok
12%
1 Tahun
Kredit Modal Kerja Usaha Kecil dan Menengah (KMK-UKM)
Koperasi, pengusaha kecil-menengah
Distribusi, simpan pinjam, pengadaan bahan baku dan usaha produktif
Rp. 3 miliar per nasabah
16%
1 Tahun
Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah (KPT-PUD)
Koperasi, pengusaha kecil-menengah

Rp. 400 juta
16%
1 Tahun

Dari ketiga belas skema kredit tersebut tidak semuanya merupakan skema kredit yang baru. Skema kredit yang baru adalah kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna (KPTTG), Kredit Modal Kerja Sauah kecil dan Menengah (KMK-UKM), dan Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah (KPT-PUD) Kredit akan disalurkan melalui bank-bank yang sudah relatif mapan seperti bank BUMN.
Beberapa sasaran yang ingin dicapai dari pemberian skema kredit ini diantaranya adalah :
1. Perluasan Kredit Usaha Tani (KUT)
2. Membangun jalur distribusi yang berbasiskan koperasi
3. Pengembangan jalur pembiayaan alternatif dan
4. Pengerahan tenaga terampil untuk pendampingan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat.

IV. PENGEMBANGAN KELOMPOK PENGUSAHA
Untuk memacu tumbuh kembangnya kelembagaan pelaku usaha baik skala usaha besar dan kecil, rencana tindak yang perlu diambil adalah pembentukan kelompok-kelompok usaha berdasarkan kesamaan jenis usaha atau produk yang dihasilkan. Penumbuhan kelompok-kelompok ini perlu dibina oleh pemerintah daerah dan pusat. Kelompok-kelompok ini harus terus dibina dan dibantu dari segi permodalan usaha sehingga menjadi kelompok-kelompok usaha yang kuat.
Dengan mengacu kepada pengembangan ekonomi kerakyatan, rencana tindak yang harus segera diambil adalah pembentukan unit-unit usaha rakyat yang dapat berupa koperasi yang memberikan keuntungan kepada para anggotanya serta mampu menjadi mitra sejajar dengan perusahaan-perusahaan skala besar. Upaya peningkatan kualitas koperasi sebagai badan usaha perlu dilakukan melalui perbaikan manajemen termasuk sistem bagi hasil. Untuk itu peningkatan kualitas SDM pnegelolaan koperasi melalui pendidikan dan latihan perlu terus ditingkatkan disamping mendapat dukungan finansial yang memadai dari perbankan.

V. PROMOSI DAN PEMASARAN
Pengembangan ekonomi daerah memerlukan promosi untuk menarik investor memasuki kawasan maupun untuk meningkatkan pemasaran produk-produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan dengan:
1. Melakukan promosi melalui pekan promosi investasi baik di dalam negeri maupun luar negeri.
2. Memperbesar pangsa pasar dengan memberikan kesempatan investor untuk melakukan investasi dari sistem produksi hingga distribusi.
3. Melakukan promosi dalam satu paket investasi yang terdapat keterkaitan diantaranya atau kesatuan program-program investasi antar sektor.
4. Melakukan perbaikan prosedur investasi dengan melalukan kemudahan-kemudahan prosedur.
5. Meningkatkan pelayanan investasi dengan dibentuknya prosedur perijinan satu atap.
6. Membentuk pusat-pusat informasi investasi di pusat-pusat kegiatan perdagangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
7. Adapun media yang dipergunakan adalah:
8. Mempergunakan teknologi informasi untuk penyebaran informasi.
9. Pembuatan sistem informasi melalui pembuatan data base tentang kepariwisataan.

VI. KEMITRAAN
Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan berlangsung antara semua pelaku dalam perekonomian baik dalam kepemilikan (BUMN, Swasta, dan Koperasi) atau dalam ukuran usaha (besar, menengah dan kecil).
Kemitraan juga terbuka dan menjangkau semua sektor kegiatan ekonomi. Kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada usaha kecil oleh pemerintah dan dunia usaha.
Pola-pola kemitraan yang dapat diterapkan adalah inti plasma, sub-kontrak, perdagangan umum, keagenan dan bentuk-bentuk lain.
a. Inti plasma
Dalam pola inti plasma, usaha besar/menengah sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam :
1. Penyediaan dan penyiapan lahan
2. Penyediaan sarana produksi
3. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi
4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan
5. Pembiayaan dan
6. Pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.

b. Sub Kontrak
Dalam rangka pola kemitraan usaha besar/menengah dengan usaha kecil berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, usaha besar/menengah memberikan bantuan berupa :
1. Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen
2. Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar
3. Bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen
4. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan
5. Pembiayaan.

c. Perdagangan Umum
Kemitraan usaha besar/menengah dengan usaha kecil dalam kegiatan usaha perdagangan dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran dan penyediaan lokasi usaha. Penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar/menengah yang bersangkutan.

d. Keagenan
Kegiatan usaha perdagangan dapat dilakukan dengan pola keagenan. Menunjuk usaha kecil sebagai agen diutamakan untuk kegiatan usaha yang tidak mensyaratkan adanya fasilitas pemeliharaan/perbaikan yang memerlukan investasi sendiri.
Usaha besar/menengah yang melaksanakan kemitraan dengan usaha kecil berkewajiban melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam aspek :
1. Pemasaran
2. Membantu akses pasar
3. Memberikan bantuan informasi pasar
4. Memberikan bantuan promosi
5. Mengembangkan jaringan usaha
6. Membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen
7. Membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan

Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia
1. Pendidikan dan latihan
2. Magang
3. Studi banding
4. Konsultasi

Permodalan
1. Pemberian informasi sumber-sumber kredit
2. Tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga perijinan
3. Mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan
4. Informasi dan tata cara penyertaan modal
5. Membantu akses permodalan

Manajemen
1. Bantuan penyusunan studi kelayakan
2. Sistem prosedur organisasi dan manajemen
3. Menyediakan tenaga konsultan dan advisor

Teknologi
1. Membantu perbaikan, inovasi dan alih teknologi
2. Membantu pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan
3. Membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas
4. Membantu pengembangan desain dan rekayasa produk
5. Membantu meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku.

VII. PERAN PEMERINTAH DAERAH
Era otonomi daerah mendorong bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Dominasi peran pemerintah pusat berubah dari peran pembangunan menjadi pendorong pemerintah daerah dalam memfasilitasi dunis usaha mengembangkan kegiatannya. Namun, pemda banyak yang tidak menyadari fungsinya secara tepat. Beberapa pemda mengatur pungutan, dengan tidak menggambarkan secara jelas kompensasi bagi subyek retribusi.[1]
Unsur terpenting lain dalam pelayanan perda adalah kepastian waktu, kebakuan prosedur dan kejelasan instansi penanggung jawab atas suatu urusan perizinan dan pelayanan jasa lainnya. Ketidakpastian waktu, umpamanya, terlihat jelas dalam perda yang mengurus perizinan usaha, undang-undang gangguan, uji kendaraan bermotor dan sebagainya. Sedangkan, ketidakjelasan prosedur dan instansi penanggung jawab atas urusan pelayanan menyebabkan terhambatnya kelancaran pengurusan perizinan (pembukaan usaha, izin distribusi komoditas, dan sebagainya) dan bisa membuka kemungkinan terjadinya praktik-praktik ilegal.
Di Kabupaten Sanggau, pemerintah bersama DPRD setempat menerbitkan retribusi kayu tebangan masyarakat. Hal serupa juga diterbitkan di Ketapang dengan perda tentang tata niaga kayu. Sedangkan, di Kabupaten Kapuas Hulu, dikutip Pemberian Izin Koperasi Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) skala 100 hektar. Pemerintah Kabupaten Sanggau juga mengeluarkan Perda No 9/2000 tentang Retribusi Angkutan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit, Inti Sawit, dan Minyak Kelapa Sawit (CPO). Penerimaan dari retribusi ini ditargetkan mencapai Rp 1,5 milyar.
Selain perda, hal terpenting yang dapat membuat sebuah daerah memiliki daya pikat bagi investor pada saat ini adalah keamanan dan penegakan hukum. Investor masih menanyakan tentang penegakan hukum serta pelayanan perizinan. Upaya untuk penegakan hukum diserahkan sepenuhnya kepada aparat keamanan. Menyangkut perizinan usaha, pemerintah setempat masih terus-menerus melakukan berbagai terobosan dengan pembuatan perda yang mampu memberikan iklim yang kondusif bagi investasi dan pengembangan dunia usaha.
Iklim untuk berinvestasi di daerah perlu dibuat kondisif. Untuk menunjukkan kondisi keamanan yang membaik, perlu dilakukan berbagai kegiatan budaya dan bisnis. Jember Festival dan Perlombaan Perahu Sampan Nusantara di Kab. Sambas merupakan upaya-upaya yang dapat diterapkan di daerah-daerah lain. Dalam acara seperti ini pejabat dan pengusaha dari provinsi dan negara lain datang untuk memeriahkan acara itu. Beberapa pengusaha Singapura telah menyatakan keinginannya untuk menanamkan investasi dibidang peternakan sapi dan pertanian buah-buahan di Kab. Sambas.
Pada tahap awal sebagian wewenang tetap harus diberikan kepada gubernur sebagai penanggung jawab di provinsi. Pemberian wewenang penuh ke kabupaten hanya membingungkan pengusaha karena kebijakan yang berbeda-beda di setiap daerah kabupaten/kota. Untuk saat ini sebaiknya gubernur tetap memiliki wewenang 60 persen dan bupati 40 persen. Gubernur harus mempunyai tanggung jawab dan kekuasaan untuk melakukan harmonisasi kebijakan investasi.[2]
Dalam masalah pertambangan, HPH, proyek pembangunan atau lain-lain yang kebijakannya berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Padahal tidak sedikit di antara pengusaha menjalankan jenis usaha yang sama di beberapa kabupaten. Hal lain yang juga menjadi kekurangan daerah dan merugikan pengusaha kendati tidak fatal adalah keterbatasan SDM di daerah. Umumnya pembantu-pembantu bupati, baik wakil bupati maupun jabatan kepala-kepala dinas, bukan orang yang sesuai untuk jabatannya. Pembicaraan yang seharusnya hanya satu kali, harus dibicarakan berkali-kali bahkan harus minta bantuan bupati. Sebagai pembantu bupati dalam beberapa persoalan para kepala dinas harus dapat memutuskan sendiri.
Selain itu masih ada departemen yang tetap dikuasai pusat. Padahal, instansi itu sudah diotonomikan. Misalnya kepelabuhanan dan sejumlah Badan Usaha Milik Nnegara (BUMN) lainnya. Seharusnya dengan diotonomikan, uang bisa lebih banyak berputar di daerah sekaligus memberi peluang kepada para pengusaha daerah. Walau demikian, secara umum pelaksanaan otonomi daerah tetap memberi keuntungan positif bagi pengusaha daerah. Untuk urusan perizinan, misalnya, karena kewenangan sudah berada di daerah, para pengusaha dapat lebih dekat kepada pengambil keputusan. Sehingga urusan tidak perlu berbelit-belit karena tidak lagi melalui pusat. Para pengusaha dapat lebih memainkan peran sesuai kapasitasnya masing-masing.

VIII. KESIMPULAN
Kondisi makroekonomi di Indonesia yang mulai membaik merupakan momentum bagi daerah dalam mendatangkan investasi. Momentum tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal oleh pemda agar realisasi investasi meningkat.
Namun saat ini investor masih sering menghadapi masalah lahan, ketidakpastian hukum dan ketiadaan jaminan keamanan dan ketidaknyamanan terhadap investor. Untuk menggerakkan perekonomian daerah maka pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan yang ramah terhadap dunia usaha dalam rangka mempercepat laju investasi ke daerah. Pemda perlu menetapkan peraturan di tingkat lokal yang jelas dan melindungi investor.

–o0o–
DAFTAR PUSTAKA
Apul D. Maharadja (ed), Membangun Batam, 2003
Fadel Muhammad, Industrialisasi & Wiraswasta, Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’, 1992
Hayashi, Mitsuhiro; SMEs, Subcontracting and Economic Development in Indonesia: With Reference to Japan’s Experience, 2005
Kamaluddin, Rustian; Pengantar Ekonomi Pembangunan, 1999
Kotler, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Masyhuri dan Syarif Hidayat, Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi di Daerah, 2001
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985
Sletmo, Gunnar K. & Boyd, Gavin, Industrial Policies in the Pacific, 1994
Todaro, Michael P; Pembangunan Ekonomi (terjemahan), Edisi ke 6, 1999

[1] Hal ini melanggar filosofi umum retribusi yang merugikan bagi masyarakat, karena masyarakat harus menanggung pungutan yang tak disertai kejelasan timbal baliknya.
[2] Hal ini untuk membantu masing-masing kabupaten membuat kebijakan agar tidak terjadi perbedaan, karena pengusaha sering bingung ada satu aktivitas ekonomi yang harus dijalankan dengan kebijakan berbeda-beda.

Pengembangan Kawasan Wisata Agro

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di sepanjang daerah katulistiwa yang memiliki kekayaan sumberdaya alam cukup tinggi, yang meliputi keanekaragaman hayati maupun keragaman ekosistemnya. Disamping itu, dengan wilayah yang mencakup ± 17.508 pulau besar dan kecil, Indonesia memiliki keanekaragaman suku dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal pengelolaan hutan, Indonesia 50 taman nasional, 9 taman hutan raya, 73 taman wisata alam dan 7 taman wisata laut.
Seluruh kekayaan tersebut merupakan aset dan potensi wisata sangat besar. Oleh karena itu kebijakan kepariwisataan merupakan bagian dari upaya mendukung kegiatan pembangunan ekonomi serta menciptakan dampak ganda dalam meningkatkan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, kesadaran masyarakat, pendapatan negara dan pendapatan asli daerah.

II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang unik, karena sifatnya yang sangat kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila pembangunan pariwisata harus ditinjau dari berbagai aspek kehidupan. Pada hakekatnya, pembangunan pariwisata di Indonesia adalah pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya membicarakan tentang bagaimana menjaga kemampuan kondisi alam atau yang lebih dikenal dengan biodiversiti tanah, air dan udara, tetapi juga semua aspek kehidupan perlu dilestarikan, termasuk kultur sosial manusianya.
Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi termasuk kegiatan sektor lain yang terkait. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional dapat meningkatkan peluang kerja, pendapatan negara dan penerimaan devisa. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan aspek-aspek penentu, baik di dalam maupun di luar negeri. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah pemasaran, produksi, aksesibilitas dan infrastruktur kepariwisataan.
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mencapai sasaran program pariwisata antara lain sebagai berikut:
Di bidang pemasaran. Dilakukan kampanye pemasaran dengan menjemput langsung wisatawan mancanegara di tempat asalnya.
Di bidang produk wisata. Menetapkan produk wisata di kawasan Barat Indonesia dan meningkatkan percepatan pembangunan produk wisata di kawasan Timur Indonesia. Bersama itu dilakukan pula peningkatan daya saing produk wisata di pasaran global melalui kebijaksanaan harga. Upaya mengembangkan objek dan daya tarik wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya, baik di dalam maupun di luar negeri terus ditingkatkan secara terencana, terarah, terpadu dan efektif antara lain dengan memanfaatkan secara optimal kerjasama kepariwisataan regional dan global guna meningkatkan hubungan antar bangsa.
Di bidang Sumber Daya Manusia. Membentuk tenaga kerja yang terampil dan profesional di bidang pariwisata serta meningkatkan keramah-tamahan, kenyamanan dan kemudahan pelayanan di gerbang-gerbang wisata, obyek dan daerah wisata di Indonesia.
Di bidang kelembagaan dan pengaturan. Pemerintah telah memantapkan produk dan pengaturan disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Di bidang prasarana dan aksesibilitas. Membawa wisatawan mancanegara secara langsung (Point to Point) dengan biaya yang wajar dan memperhatikan kenyamanan serta meningkatkan prasarana umum, seperti transportasi air, listrik dan telekomunikasi.
Di bidang investasi. Memberikan insentif untuk mendorong peningkatan investasi di kawasan Timur Indonesia sesuai dengan kondisi masing-masing, disamping pemantapan investasi di kawasan Barat Indonesia.
Di bidang lingkungan hidup. Pembangunan pariwisata Indonesia berasaskan kualitas dan ramah lingkungan.
Di bidang perwilayahan. Prioritas pembangunan daerah tujuan wisata disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah.
Di bidang IPTEK dan sistem informasi. Peningkatan informasi melalui simpul data base, unit informasi dan “Computer Reservation System” yang memadai.
Di bidang Fasilitas pendukung. Memanfaatkan dan meningkatkan fasilitas pendukung seperti keamanan, kesehatan dan ketertiban.

III. ANALISIS KEGIATAN WISATA AGRO
Pengembangan pariwisata meliputi dua unsur yang sangat peka, yakni sumberdaya alam yang peka terhadap kerusakan dan masyarakat yang peka terhadap perubahan sosial. Di lain pihak, adanya kecenderungan peningkatan permintaan pasar terhadap jasa wisata alam telah mendorong banyak sektor untuk berlomba memanfaatkan kawasan yang masih alami sebagai obyek dan atraksi wisata.[1]
Kerusakan lingkungan harus dihindari dalam pengembangan pariwisata. Hal ini berarti bahwa dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata alam diperlukan pemahaman yang menyeluruh tentang sumberdaya alam sebagai suatu sistem kesatuan yang utuh. Untuk itu diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam bidang ekowisata berlandaskan azas konservasi.
Saat ini sudah mulai dilaksanakan konsep pengembangan pariwisata dengan memadukan usaha-usaha pertanian, kehutanan, dll. sebagai salah satu alternatif untuk menangkap segment pasar wisata yang sudah bergeser ke arah back to nature dan sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya alam beserta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya untuk pemanfaatan yang lestari dan optimal yaitu dengan mengembankan konsep wisata alam.
Wisata alam adalah kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkungan alam dan budaya terkait, yang: (a) mendidik wisatawan tentang fungsi dan manfaat lingkungan alam dan budaya, (b) meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap lingkungan dan budaya, serta meminimumkan dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan tersebut, (c) bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat tuan rumah, (d) menyumbang langsung pada pelestarian alam berkelanjutan serta pengelolaan lingkungan alam dan budaya yang terkait, yang terdapat di tempat berlangsungnya kegiatan agroturisme tersebut.
Salah satu kawasan unggulan yang layak dikembangkan dalam skala kecil sampai besar dalam cakupan yang tersebar luas di seluruh wilayah Tanah Air adalah kawasan wisata agro. Kawasan wisata agro merupakan kawasan yang secara khusus dikembangkan untuk mengundang pengunjung guna melakukan kegiatan aktif yang terkait dengan penanaman dan pengolahan komoditas pertanian tertentu atau kegiatan pasif yaitu menikmati dan mencermati suasana dan aktivitas penanaman dan pengolahan komoditas pertanian tertentu.
Kondisi agroklimat di wilayah Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan komoditas tropis dan sub-tropis di beberapa wilayah, dengan variasi tingkat ketinggian di atas permukaan laut yang besar. Komoditas agro dalam arti luas (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan) dengan keragaman dan keunikan yang bernilai tinggi dalam konteks kekayaan kultural yang sangat beragam mempunyai daya tarik kuat sebagai kawasan wisata agro dunia.

IV. TUJUAN PENGEMBANGAN WISATA AGRO
Ada beberapa tujuan yang dapat dicapai dalam pengembangan kawasan wisata agro. Di kawasan wisata agro masyarakat dapat menambah pengetahuan mengenai praktek penanaman dan/atau pengolahan komoditas tertentu. Pemahaman proses tanam seperti mencangkul dan memupuk dan proses olah (menjadi produk akhir) ini akan dapat mendorong orang untuk melakukan proses yang sama atau bahkan lebih baik. Pemahaman ini juga akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kegiatan penanaman dan/atau pengolahan komoditas tersebut, yang dapat menumbuhkan kecintaan pada produk yang dihasilkan di situ atau produk itu sendiri pada umumnya.[2]
Selain tujuan pendidikan dan pembelajaran tersebut, kawasan wisata agro memberikan pendapatan tambahan yang dapat cukup berarti bagi petani/pengusaha agribisnis yang mengembangkan kawasan wisata agro tersebut. Kawasan wisata agro tidak harus berskala besar/luas. Dengan lahan sekitar tiga hektar saja, pemiliknya dapat menjadikan lahannya sebuah kawasan wisata agro. Bahkan seorang wirausahawan atau pemda kabupaten/kota atau kecamatan atau bahkan desa dapat membangun kawasan wisata agro hanya dengan mengoordinasikan petani sayur atau nelayan yang ada di suatu lokasi sedemikian rupa sehingga dapat menarik pengunjung.
Pengunjung ini bila dari luar negeri maka juga akan menambah devisa pemerintah pusat. Selama ini jumlah wisman yang menikmati wisata-agro dalam kunjungan mereka ke Indonesia masih sedikit, dan umumnya mereka yang berkunjung ke obyek agro kebanyakan berkaitan dengan nostalgia, bukan karena uniqueness dari kawasan agro wisata di Indonesia dibandingkan dengan yang ada di Thailand atau China, misalnya.
Sebagian besar pengunjung kawasan wisata agro mancanegara di Indonesia adalah dari Belanda yang berkunjung ke perkebunan-perkebunan, seperti kebun teh, kopi, karet kakao, dan sebagainya, dimana pada zaman dahulu orang tuanya atau kakek neneknya pernah tinggal ataupun bekerja di perkebunan-perkebunan tersebut.[3]
Kawasan wisata agro juga sangat berpotensi mendorong tumbuhnya agroindustri lokal, karena dari interaksi dengan pengunjung petani/pengusaha agribisnis dapat terdorong untuk menghasilkan produk yang bagus dan berkualitas sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk agro tersebut.

V. CONTOH KAWASAN WISATA AGRO
Salah satu kawasan wisata agro adalah Wisata Agro Salak Pondoh (WASP). Kawasan ini terletak di Desa Bangun­kerto, Kecamatan Turi, Sleman, Yogyakarta. Wisata Agro Salak Pondoh direncanakan menjadi tempat persinggahan para turis dalam perjalan­an dari Candi Prambanan ke Candi Borobudur. WASP diresmikan sebagai objek wisata pada tahun 1990.
WASP dibagi beberapa bagian. Ada zona inti seluas 17 hektar yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas tambahan, termasuk penginapan. Kolam pemancingan dan panggung pertunjukan terletak di kawasan ini. Di luar zona inti ada desa wisata seluas 60 hektar. Kawasan ini tak ubahnya sebuah dusun biasa, dengan rumah-rumah penduduk dan aktivitas kesehariannya, tapi ditata sedemikian rupa agar tampak menarik. Di desa wisata ini, turis dapat mengikuti proses budi daya salak, mulai dari cara penanaman hingga memanennya. Di luar kedua bagian itu masih ada hamparan pemukiman dan kebun buah-buahan seluas 633 hektar, yang tidak hanya menyajikan salak Pondoh.
Pemanfaatan lahan tegalan atau ladang, tetap dikelola oleh penduduk untuk dijadikan tempat tujuan wisatawan, sebagai pendukung zona inti. Pengembangan desa-desa wisata, dimaksudkan agar dapat memperpanjang lama tinggal (length of stay). Untuk mewujudkan desa wisata ini, dibuatlah kelompok-kelompok dusun yang termasuk dalam bagian kawasan wisata agro, dengan fokus utama sebagai desa wisata buah. Rencana buah-buahan yang akan ditanam di tempat tersebut, selain salak Pondoh, adalah buah rambutan, durian, mangga, duku, petai, langsem, dan sebagainya.
Untuk lebih meningkatkan daya tarik WASP akan dilengkapi kebun bonsai, taman anggrek, pasar burung, mu­seum. Dinas-dinas terkait di Pemda Sleman berupaya melakukan koordinasi untuk pengembangan wisata agro. Beberapa biro perjalanan memasukkan WASP, sebagai objek wisata yang disodorkan kepada turis asing.

VI. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA AGRO
Atas dasar analisis terhadap sektor-sektor unggulan, keterkaitan antar sektor, potensi pasar dan peluang investasi dapat dirumuskan strategi pengembangan kawasan wisata agro. Strategi pengembangan kawasan wisata agro ditujukan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dengan mengangkat ekonomi rakyat. Strategi yang dikembangkan antara lain:
a. Kegiatan Pariwisata
Penentuan pusat-pusat pengembangan pariwisata sebagai pusat pengembangan yang menjadi pusat kegiatan pariwisata menuju sub-sub pusat pengembangan dengan memberikan program kegiatan wisata diantara sub-sub pengembangan.
Penekanan kegiatan atau obyek wisata unggulan dari setiap sub-sub pusat pengembangan.
pusat jasa dan perdagangan wilayah dapat dikembangkan wisata belanja atau shoping tourism
Mempertinggi akses menuju pusat-pusat atau obyek-obyek pariwisata baik bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara.
Pengembangan atraksi wisata atau deversifikasi kegiatan wisata dengan mengaitkan dengan kegiatan ekonomi rakyat.
Memberikan insentif bagi investor yang akan mengembangkan obyek-obyek wisata dan jasa akomodasi (hotel)
Pengembangan pendidikan kepariwisataan.

b. Kegiatan Ekonomi
Pengembangan ekonomi a.l. dilakukan sebagai berikut :
Mengidentifikasi klaster-klaster industri untuk mengembangkan industri sedang dan besar, dan industri menengah dan kecil yang sudah ada.
Mengembangkan industri yang padat sumberdaya alam (natural resource base intensive) agar mampu bersaing dengan daerah lain di Indonesia umumnya dan di pasar internasional pada khususnya.
Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan/memperpendek jalur birokrasi dan penghapusan pungutan yang tidak perlu.
Pemberian insentif khusus melalui instrumen fiskal (misal penundaan pembayaran pajak) dan instrumen moneter (subsidi tingkat bunga pinjaman), dan kebijaksanaan administratif pemberian perijinan sistem satu atap.

VII. PERAN PARA PELAKU
Pariwisata merupakan kegiatan yang melibatkan banyak sektor (multi sector activity), baik dalam perencanaan maupun pengembangannya. Oleh karena itu keberhasilan pariwisata sangat ditentukan oleh peranserta dan kesamaan persepsi dari setiap sektor terkait.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah pihak yang paling berperan dalam mengembangkan kawasan wisata agro. Bupati dan Walikota perlu mendukung berkembangnya wisata agro di daerahnya dengan memberi kemudahan perijinan, pengaturan agar tidak terjadi iklim usaha yang saling mematikan, menghadirkan rasa aman bagi pengusaha dan pengunjung. Dinas Pekerjaan Umum kabupaten perlu menyediakan prasarana dan sarana umum menuju dan di kawasan-kawasan wisata agro di daerah masing-masing. Dinas Pariwisata kabupaten perlu menterpadukan pengembangan wisata agro dengan wisata lain di daerahnya, di samping memberikan saran-saran kepada pengelola kawasan untuk menjadikan kawasannya menarik dan layak kunjung bagi wisnu dan wisman.
Pemda Propinsi tentunya mempunyai peran mendukung pengembangan kawasan wisata agro di daerahnya dengan berbagai kegiatan yang strategis, terutama dalam membangun jalan beraspal dari ibukota propinsi ke kawasan-kawasan agro wisata, memasukkan kegiatan dalam kawasan wisata agro dalam program wisata daerah, bekerjasama dengan pemda di negara lain untuk mendatangkan wisatawan ke kawasan wisata agro, dll. Untuk mengundang orang berkunjung ke kawasan wisata agro, Dinas Pariwisata propinsi perlu melakukan promosi mengenai kawasan wisata agro ini dengan menyebarluaskan brosur dan iklan di media massa sehingga keberadaan kawasan wisata agro diketahui secara meluas oleh penduduk propinsi ybs. Dinas Perhubungan propinsi dapat berpartisipasi dengan menambahkan petunjuk arah menuju kawasan wisata agro ini pada papan-papan petunjuk lalulintas. Pemerintah Propinsi perlu memprogramkan kegiatan peningkatkan keterampilan dan kemampuan petani/pengusaha wisata agro dalam mengelola, mengemas, menyajikan paket-paket wisata; dan peningkatan keahlian pemandu wisata.
Pemerintah Pusat melalui kementerian/lembaga terkait dapat mendorong tumbuhnya kawasan wisata agro dengan berbagai cara. Deptan/Dephut/DKP dapat memberikan informasi mengenai tata cara pembangunan dan pengoperasian kawasan wisata agro kepada petani/pengusaha agribisnis. Instansi tersebut dapat menyediakan informasi mengenai kawasan wisata agro di negara lain kepada pemda yang selanjutnya meneruskan informasi tersebut kepada petani/pengusaha agibisnis di daerahnya. Departemen Pertanian secara khusus dapat mempopulerkan event semacam holiday farmers, di mana penduduk kota pada setiap akhir pekan berbondong-bondong menuju kawasan pertanian untuk berwisata sekaligus membeli hasil-hasil pertanian di kawasan-kawasan agro wisata. Kementerian Koperasi dan UKM dapat menyediakan bantuan permodalan lunak dan bimbingan manajemen kepada petani/pengusaha agribisnis. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu mempromosikan keunikan wisata agro di setiap daerah di Indonesia untuk komunitas luar negeri melalui berbagai sarana.
Swasta dan BUMN juga dapat dan perlu mendukung pengembangan kawasan wisata. PLN perlu mengupayakan ketersediaan listrik di desa-desa yang belum terlayani listrik, sehingga kawasan wisata agro dapat berkembang di setiap desa yang berpotensi. Bupati/walikota dapat mempromosikan kawasan wisata agro di daerahnya dengan menjadikannya satu paket dengan kegiatan-kegiatan khusus dan regulernya, misalnya rapat koordinasi, seminar regional, training outbound kepada karyawan, dll. Biro-biro perjalanan, perhotelan, jasa angkutan perlu diikutsertakan untuk mempromosikan dan memperlancar kunjungan wisman dan wisnu ke kawasan-kawasan agro wisata, melalui berbagai cara dan media, seperti leaflet, booklet, pameran, iklan atau media audiovisual, penyediaan informasi di berbagai tempat umum (kedutaan besar, bandara, hotel, dan lain-lain).
Terhadap program-program pemerintah, dari daerah sampai pusat, berbagai masukan penting dari Asosiasi Wisata Agro Indonesia (AWAI), dan LSM lain, perlu mendapat perhatian yang serius.

VIII. KESIMPULAN
Wilayah Indonesia, dengan keanekaragaman sumberdaya alam yang ada, sangat kaya dengan potensi wisata agro yang dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata yang komersial dan berdaya saing tinggi, setidak-tidaknya pada tingkat regional. Pengembangan kawasan wisata agro merupakan langkah strategis membangun ekonomi pedesaan, mendidik bangsa yang cinta produk sendiri dan mendatangkan devisa.
Pengembangan kawasan wisata agro yang dilakukan oleh petani atau pengusaha agribisnis perlu didukung, dibantu, dan dipromosikan oleh Pemerintah pada semua tingkat, khususnya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Bilamana memungkinkan perlu dibentuk dinas atau bagian khusus yang berperan mendampingi petani atau pengusaha agribisnis untuk menjadikan lahannya menjadi kawasan yang layak dikembangkan sebagai kawasan wisata agro.

–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Fadel Muhammad, Industrialisasi & Wiraswasta, Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’, 1992
Hayashi, Mitsuhiro; SMEs, Subcontracting and Economic Development in Indonesia: With Reference to Japan’s Experience, 2005
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, 2003
Kotler, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, 2003
Masyhuri dan Syarif Hidayat, Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi di Daerah, 2001
Morissey, George ; Pedoman Perencanaan Taktis, Membuahkan Hasil Jangka Pendek Anda (terjemahan), 1996.
Narayan, Deepa (ed); Empowerment and Poverty Reduction, 2002
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985
Rydin, Yvonne, The British Planning System, an Introduction, 1993
Sarundayang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, 2001
Sri Rum Giyarsih; Perwilayahan Layanan Sosial Ekonomi untuk Pengembangan Wilsyah Perdesaan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah, Vol 1, No 1, Edisi 1 2006
Thomas, Vinod et.al.; The Quality of Growth, 2000
Todaro, Michael P; Pembangunan Ekonomi (terjemahan), Edisi ke 6, 1999
Widji Anarsis, Agribisnis Komoditas SALAK
Winarso, Haryo e.al (eds); Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, 2002

[1] Kondisi demikian ini menimbulkan kekhawatiran karena pariwisata masal telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.

[2] Petani sendiri akan lebih termotivasi untuk memelihara tanamannya dengan lebih baik jika lahannya dilihat banyak pengunjung dan hasil tanamannya dibeli langsung oleh orang kota.

[3] Hal ini berbeda dengan wisman agro di China atau Thailand, yang berkunjung ke sana karena ingin mengetahui secara langsung apa yang terjadi di sana.

Pengembangan Kawasan Andalan Untuk Pengembangan Ekonomi Daerah

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Tujuan mengembangkan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di daerah ybs. Mencapai kualitas kehidupan yang tinggi adalah dengan mewujudkan tingkat produktivitas yang tinggi yang terus meningkat di seluruh bidang ekonomi. Suatu daerah yang produktif dapat membayar upah yang tinggi kepada pekerjanya; sebaliknya suatu daerah yang tidak produktif hanya dapat memberikan upah yang rendah. Daerah yang produktif menghasilkan keuntungan yang tinggi pada modal yang diinvestasikan dalam aktivitas bisnis di daerah itu; sebaliknya daerah yang tidak produktif hanya memberikan keuntungan yang rendah kepada investor di daerah itu. Cara untuk membangun kemakmuran dalam suatu daerah adalah meningkatkan produktivitas.

II. KONSEPSI PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH
Dalam ekonomi global yang modern, produktivitas lebih dari fungsi efisiensi dalam memproduksi barang-barang yang sama. Ia juga bertalian dengan nilai produk yang dihasilkan daerah itu. Ketika suatu daerah menjadi lebih maju, ia harus menemukan jalan untuk menaikkan nilai produknya, dengan nilai yang bersedia dibayar pembeli. Para pembeli akan membayar lebih hanya jika suatu produk lebih berkualitas, mempunyai ciri yang lebih baik, ditawarkan bersama dengan jasa penunjang yang lebih lengkap, membawa merek yang dikenal handal. Pertumbuhan produktivitas ditentukan oleh fungsi peningkatan nilai dan efisiensi produksi yang terjadi.
Mencapai nilai lebih tinggi tidak mengharuskan suatu daerah untuk menghasilkan produk industri canggih. Suatu daerah dapat produktif dan makmur dalam hampir semua bidang. Yang penting adalah bagaimana daerah itu bersaing, bukan dalam industri apa ia bersaing. Suatu daerah dapat menjadi makmur dalam pariwisata jika daerah itu dapat menaikkan rata-rata belanja per wisatawan manca-negara dengan menawarkan hal-hal yang lebih baik: fasilitas penginapan lebih membetahkan, pelayanan transportasi lebih lancar, atraksi lebih menarik, atau keramahan yang lebih mengesankan.

a. Tantangan Daerah
Untuk membangun suatu daerah yang makmur, pemikiran bahwa industri tradisional adalah tertinggal dan bahwa daerah itu harus membangun industri berat harus ditanggalkan. Sebaliknya, fokus pengembangan ekonomi daerah harus pada basis kemakmuran yang sebenarnya, yang menjadi daya produksi daerah itu. Jika suatu daerah dapat mendorong produktivitas melalui peningkatan keterampilan dan teknologi, maka kemakmuran akan meningkat. Pada sisi lain, jika ada halangan dalam meningkatkan produktivitas, maka ekonomi daerah itu akan stagnan atau mundur.
Suatu daerah dapat tergolong sebagai daerah berkembang, yang perlu mencapai kemakmuran yang lebih tinggi untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah-daerah maju dan tidak dikejar oleh daerah-daerah berkembang lainnya. Daerah-daerah berkembang akan terus meniru produk yang dihasilkan atau menggunakan upah yang lebih rendah untuk menyaingi produk daerah itu. Daerah-daerah berkembang lain juga dapat terus memperbaiki infrastrukturnya, dan mendidik masyarakatnya agar mempunyai keterampilan yang semakin baik.[1] Tantangan yang dihadapi oleh setiap daerah oleh sebab itu sangatlah besar.
Satu-satunya cara untuk menang dalam kompetisi sengit seperti ini adalah dengan menghasilkan produk dan jasa yang daerah-daerah lain tidak dapat menghasilkannya. Pertumbuhan kemakmuran tergantung pada kapasitas untuk menginovasi, untuk menghasilkan nilai produk yang lebih tinggi dan semakin tinggi, yang daerah lain tidak dapat menghasilkan atau baru menghasilkan setelah beberapa tahun kemudian. Untuk mendukung struktur upah yang meningkat terus maka daerah harus menetapkan target yang bergerak, menerapkan tingkat teknologi untuk mengembangkan proses produksi dan produk uniknya secara lebih baik dan terus lebih baik. Jika suatu daerah gagal untuk mengembangkan kapasitas untuk lebih produktif, maka daerah itu dengan cepat akan takluk kepada tekanan kekuatan pasar.

b. Strategi Pengembangan Ekonomi Daerah
Menurut Porter ada dua strategi pengembangan ekonomi daeah: strategi makro dan strategi mikro. Strategi pertama adalah dengan mewujudkan suatu lingkungan ekonomi makro dan politik yang stabil, serta hukum yang mantap dan adil; tidak hanya pada lingkup nasional namun juga daerah. Daerah-daerah masih harus melewati banyak ujian dalam proses ini. Pemerintah daerah perlu menunjukkan lingkungan ekonomi makro yang kondusif. Namun, kebijakan ekonomi makro tidak menciptakan kekayaan. Ia membuat lebih mudah atau lebih mungkin bagi perusahaan untuk mewujudkan kekayaan, tetapi kemakmuran tidak akan meningkat kecuali jika dasar ekonomi mikronya mantap dan semakin mantap. Strategi kedua adalah menciptakan fondasi ekonomi mikro.
Suatu ekonomi yang maju berakar dalam kapasitas perusahaan daerah. Ekonomi suatu daerah tidak dapat menjadi produktif kecuali jika perusahaan besar maupun kecil yang beroperasi di daerah itu adalah produktif. Ini berlaku tidak hanya pada perusahaan pengekspor saja tetapi kepada perusahaan berorientasi lokal. Perusahaan yang tidak efisien akan mengganggu industri lain yang tergantung padanya. Inti dari setiap kemakmuran daerah adalah efisiensi dan kecanggihan operasi perusahaan-perusahaan di daerah itu.
Dalam hal lingkungan bisnis ekonomi mikro, ada empat dimensi yang penting. Pertama adalah input yang diperlukan perusahaan, seperti sumber daya manusia, infrastruktur fisik, infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi, modal, informasi komersial, hukum dan peraturan administratif. Ini adalah input yang penting sekali yang setiap perusahaan harus menghadapinya setiap hari untuk menciptakan nilai tambah. Agar suatu daerah menjadi lebih produktif, maka kualitas, kecanggihan, dan pada akhirnya, spesialisasi dari input ini harus meningkat. Daerah harus meningkatkan rata-rata kualitas sumber daya manusianya, kualitas basis ilmiahnya, dan seterusnya.
Aspek lingkungan bisnis ekonomi mikro yang kedua adalah iklim kompetisi yang fair. Suatu ekonomi agar produktif membutuhkan suatu iklim dan insentif yang dapat menstimulasi investasi yang agresif. Pada awalnya investasi itu akan berkaitan dengan “asset keras”; namun untuk mencapai status daerah yang lebih maju, harus ada iklim di mana perusahaan akan menanam modal dalam “asset lunak” seperti pelatihan, teknologi R&D, pembuatan merek, dan jaringan pemasaran internasional. Berhubungan erat dengan ini, suatu daerah produktif adalah di mana ada kompetisi internal. Suatu perusahaan tidak dapat mungkin mampu bersaing di luar negeri kecuali jika ia berhasil untuk bersaing di dalam negeri. Karena kesuksesan tergantung pada inovasi, maka tekanan kompetisi lokal adalah fundamental dalam membuat kemajuan.[2]
Ketiga, suatu daerah yang berkembang memerlukan konsumen yang penuntut. Setiap daerah harus menciptakan suatu lingkungan di mana baik konsumen rumah tangga maupun konsumen bisnis mengharapkan yang terbaik dari pembuat produk. Kekritisan konsumen akan memberi pemahaman bagi perusahaan lokal mengenai kebutuhan pasar yang terspesialisasi, yang akan menjadi basis dari keberhasilan di tingkat nasional dan internasional. Untuk menjadi suatu daerah maju diperlukan inovasi dalam wujud produk unik, ciri unik, atau jasa unik. Adalah sangat sulit untuk menjadi unik jika melakukan hal itu sangat tergantung pada pemahaman kebutuhan konsumen asing, di mana pesaing asing jauh lebih menguasainya. Inovasi sering bersumber secara langsung dari kondisi-kondisi lokal, di mana perusahaan daerah mempunyai kemampuan unik untuk memahaminya.
Unsur lingkungan bisnis yang terakhir, di mana semua unsur-unsur lain juga harus ada bersama-sama, adalah klaster industri. Klaster adalah kawasan ekonomi yang inovatif dan produktif. Suatu klaster lebih dari sekedar industri tunggal yang membuat sebuah produk unggulan. Klaster yang sukses melibatkan berbagai industri terkait, pemasok dan institusi yang semua berlokasi di kawasan yang sama, yang semuanya berkaitan satu sama lain. Klaster industri memang kurang penting untuk daerah berkembang yang menggunakan upah rendah untuk menjual produk tiruan atau yang merakit komponen-komponen barang yang dibuat di daerah lain. Namun untuk membangun daya saing, daerah itu harus dengan unik berinovasi dan produktif. Klaster merupakan cara yang paling produktif untuk mengorganisir kegiatan ekonomi untuk mencapai sasaran itu.

III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN
Dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional yang merata, pada tahun 1997 pemerintah pusat menetapkan 111 kawasan sebagai kawasan andalan. Sebagian kawasan andalan yang terletak di Indonesia bagian timur dikembangkan secara khusus melalui program KAPET. Di samping kawasan andalan yang ditetapkan dengan PP-RTRWN 1997, pemerintah pusat juga menetapkan Sabang sebagai kawasan pelabuhan bebas dan perdagangan bebas. Dengan demikian terdapat dua kawasan strategis nasional: Batam dan Sabang.[3]
Beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan andalan antara lain: (a) kurangnya kesigapan daerah-daerah dalam mempercepat pengembangan wilayah dan memanfaatkan peluang dan minat investasi di daerah berkaitan dengan era perdagangan bebas; (b) masih terbatasnya SDM yang profesional dan belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan modern dalam perekonomian daerah; (c) belum optimalnya keterlibatan swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat lokal dalam pembangunan kawasan; (d) masih terbatasnya akses pelaku usaha skala kecil terhadap modal, input produksi, teknologi, pasar, serta peluang usaha dan kerjasama investasi; (e) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan wilayah dan potensi unggulan daerah.
Program-program pengembangan kawasan andalan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui departemen teknis antara lain adalah: (i) pengembangan kawasan pertanian (agropolitan), kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan kehutanan rakyat, kawasan peternakan, kawasan industri perikanan dan lain-lain di berbagai daerah; (ii) pengembangan KAPET sebagai salah satu upaya pengembangan KTI; (iii) pelaksanaan kerjasama ekonomi sub-regional dengan negara-negara tetangga, melalui BIMP-EAGA, IMT-GT, dan IMS-GT; (iv) dukungan pengembangan ekonomi lokal; (v) pengembangan kawasan transmigrasi; (vi) pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang; (vii) mendukung pemerintah daerah untuk merencanakan pengembangan kawasan andalan di beberapa daerah.

IV. KESIMPULAN
Pengembangan kawasan andalan adalah upaya untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Pengembangan kawasan andalan dilakukan dengan pendekatan klaster yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan yang ada di daerah. Hal ini dilakukan dengan mewujudkan lingkungan ekonomi makro yang mendukung pertumbuhan bisnis dan membangun fondasi ekonomi mikro sehingga perusahaan-perusahaan daerah dapat tumbuh secara produktif dan memberikan nilai tambah kepada pekerja, investor dan pemerintah.
Pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang ada di daerahnya. Pemerintah pusat melalui berbagai departemen teknis mempunyai peran dalam memfasilitasi pemerintah daerah dalam mengembangkan ekonomi daerah masing-masing, melalui berbagai program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh. Direktorat PKKT Bappenas ikut serta terlibat dalam upaya besar ini dengan mendukung beberapa pemerintah daerah untuk merencanakan pengembangan kawasan andalan di daerah masing-masing.
Dalam jangka pendek pemerintah perlu memberikan insentif kepada kegiatan ekonomi agar perekonomian daerah dapat tumbuh lebih cepat. Adapun jenis insentif yang perlu diberikan kepada kawasan andalan meliputi a.l. kemudahan pemberian kredit, pemberian pembinaan kepada pelaku kegiatan ekonomi skala kecil, pemberian suku bunga yang rendah, dan pengikutsertakan pelaku kegiatan ekonomi skala kecil dalam kegiatan dan pemasaran yang dikoordinir oleh pemerintah.

–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Apul D. Maharadja (ed), Membangun Batam, 2003
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Fadel Muhammad, Industrialisasi & Wiraswasta, Masyarakat Industri ‘Belah Ketupat’, 1992
Kotler, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Masyhuri dan Syarif Hidayat, Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi di Daerah, 2001
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985
Rydin, Yvonne, The British Planning System, an Introduction, 1993
Sarundayang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, 2001
Sri Rum Giyarsih; Perwilayahan Layanan Sosial Ekonomi untuk Pengembangan Wilsyah Perdesaan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah, Vol 1, No 1, Edisi 1 2006

[1] Daerah-daerah maju dapat melakukan tidak hanya meniru, tidak hanya memangkas biaya-biaya dan tidak hanya merestrukturisasi perekonomiannya, mereka juga harus terus mengembangkan kapasitas inovatif secara besar-besaran.
[2] Dalam mencapai keberhasilan, kompetisi internal adalah yang paling penting, di mana berbagai perusahaan mempunyai keinginan sangat kuat untuk menjadi yang terbaik.

[3] Pada saat ini pemerintah sedang mengidentifikasi beberapa strategic development regions (SDR) baru yang akan dikembangkan untuk mempercepat pertumbuhan wilayah di Indonesia. SDR adalah wilayah yang bernilai strategis secara ekonomi dan mampu berkembang cepat dengan sentuhan insentif dan kebijakan lain yang mendukung. SDR kemudian dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Pengembangan Listrik Pedesaan

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Pada tanggal 19 Januari 2005 sekitar 500 orang penduduk dari lima desa di Muara Enim, Sumatera Selatan, berdemonstrasi meminta PLN untuk membangun jaringan listrik ke desa-desa mereka. Mungkin tidak disadari oleh para penduduk desa itu bahwa sehari sebelumnya perhelatan besar Infrastructure Summit baru saja selesai. Pertemuan antara pejabat tinggi pemerintah dengan para calon investor khususnya dari luar negeri itu membicarakan proyek-proyek besar yang menguntungkan untuk ditangani swasta, berhubung pemerintah tidak mempunyai dana besar untuk keperluan membangun infrastruktur yang sangat penting untuk mendorong perekonomian nasional. Para penduduk desa yang belum terlayani listrik itu tentunya menghendaki agar pemerintah juga memperhatikan nasib mereka, yang sebagai warga negara pemilik yang sah dari Republik ini, berhak mendapatkan kesempatan yang sama sebagaimana halnya dengan masyarakat di daerah lain.
Makalah ini membahas masalah penyediaan listrik di pedesaan dan memberikan alternatif solusi penggunaan energi surya bagi desa-desa terpencil yang tidak terjangkau sambungan listrik dari PLN.

II. KRISIS LISTRIK
Krisis listrik telah merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hanya pada sistem Jawa-Bali pengadaan setrum dapat dikatakan normal. Wilayah lainnya sudah terbiasa mengalami pemadaman bergilir. Krisis listrik menjadi lebih parah bila diakumulasi dengan masih terdapatnya 46% wilayah di Tanah Air yang belum mendapatkan penerangan.
Untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik secara nasional, pemerintah dan PLN mengeluarkan dua program. Kedua program itu adalah mendirikan PLTU 10.000 MW dan menetapkan target teralirinya listrik 100% di seluruh Tanah Air pada tahun 2020.
Program elektrifikasi 30.000 desa yang belum teraliri listrik oleh PLN membutuhkan dana Rp15 triliun. Pemerintah hanya mampu menyediakan dana untuk program itu sebesar Rp600 miliar tahun ini. Program elektifikasi diarahkan menggunakan pembangkit yang menggunakan bahan bakar murah dan terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga mikrohidro (PLTM). Pelaksanaan elektrifikasi di wilayah terpencil membutuhkan teknologi tepat guna. Lantaran itu, pembangkit listrik dari tenaga matahari dan mikrohidro cocok untuk pedesaan.
Sampai tahun 2020 pertumbuhan penduduk diasumsikan 1,16% per tahun dengan pertimbangan program Keluarga Berencana (KB) cukup berhasil. Selain itu, pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun dan dana yang dikeluarkan untuk peoryek kelistrikan US$6 miliar per tahun. Sesuai tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, perkiraan GDP Indonesia akan mencapai US$300 miliar. Dari GDP sebesar itu, pemerintah memiliki kemampuan dana US$6 miliar untuk ketenagalistrikan setara dengan 2% dari GDP.
Kendala terbesar adalah perlunya membangun proyek transmisi yang ekstra ketat di daerah, mengingat singkatnya waktu yang tersedia. Jumlah jaringan transmisi dan distribusi yang harus dibangun harus dihitung dengan memperhatikan penambahan pelanggan yang diestimasi rata-rata 3,1 juta per tahun. Untuk menopang penambahan jumlah pelanggan itu, diperlukan tambahan proyek pembangkit sedikitnya 41.000 MW, jaringan transmisi 29.000 kms (kilo meter sirkit) dan gardu induk 78.000 MVA.
Selain itu, akan ada tambahan jaringan tegangan menengah tegangan rendah 20 KV sepanjang 202.000 kms, jaringan tegangan menengah tegangan rendah 289000 kms dan gardu distribusi 49.000 MVA.

III. KUALITAS LISTRIK PEDESAAN
Sudah umum dipahami bahwa listrik adalah kebutuhan pokok dalam kehidupan saat ini. Sangat jauh perbedaan kehidupan mereka yang mendapat pelayanan listrik dengan yang tidak, ibarat malam dengan siang. Maka sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan pelayanan listrik bagi seluruh penduduknya, jika masyarakat yang aman, adil, dan sejahtera menjadi cita-cita bersama. Ketidakmampuan menyediakan listrik kepada semua penduduk sama artinya dengan membiarkan sebagian penduduk untuk hidup di masa lalu dan melupakan masa depan. Oleh sebab itu, mestinya ada upaya besar untuk menyediakan listrik bagi seluruh penduduk yang sampai saat ini belum terjangkau pelayanannya.
Menurut data potensi desa BPS tahun 2003, ada sebanyak 5.758 desa di Indonesia yang belum terlistriki. Persentase desa yang tidak berlistrik terbesar ada di propinsi Papua dan Irian Jaya Barat, di mana lebih dari 60% dari desa-desa di sana tidak terlayani listrik. Desa-desa tanpa listrik lainnya banyak terdapat di NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah. Kecuali beberapa propinsi, seluruh propinsi lainnya juga mempunyai desa-desa yang belum terlistriki. Di Jawa Timur, misalnya, masih terdapat 36 desa yang gelap gulita jika malam tiba. Tidak jauh dari ibukota negara, yaitu di propinsi Banten, masih ada 27 desa yang belum mengenal lampu.
Di desa-desa yang sudah termasuki listrik, tidak semua rumah tangga terlayani karena ketidaksanggupan bayar, kesulitan teknis, dll. Diperkirakan ada sebanyak 18 juta rumah tangga yang belum mendapat pelayanan listrik (BPPT, 2004). Jika dari jumlah ini, 60% diantaranya akan dapat terlayani PLN melalui perluasan jaringannya, maka ada sejumlah 7,2 juta rumah tangga yang perlu mendapat layanan listrik non-jaringan. Rumah tangga ini umumnya berada di pedalaman, pulau-pulau terpencil, perbatasan negara, dll.
Mungkinkah menyediakan listrik bagi seluruh rumah tangga tersebut dalam beberapa tahun saja? Dengan asumsi bahwa listrik yang disediakan berupa sistem listrik rumah tenaga surya (solar home system) maka diperlukan biaya sekitar Rp. 32 triliun. Jika 60% dari harga listrik surya ini sanggup dicicil oleh penduduk yang belum terlayani listrik itu, sebagaimana yang telah diujicobakan oleh BPPT di berbagai daerah beberapa tahun yang lalu, maka diperlukan biaya dari anggaran pemerintah sebanyak Rp. 12 triliun.
Selanjutnya jika pemerintah dapat mengupayakan dana hibah untuk pengadaan listrik bersih ini dari lembaga-lembaga internasional, misalnya dari Global Environmental Facilities (GEF), maka anggaran pemerintah yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Jika sebagian listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik yang lebih murah, seperti tenaga mikro hidro, tenaga bayu atau tenaga gelombang, yang potensinya tersebar di berbagai daerah juga, maka biaya penyediaan listrik untuk penduduk di desa-desa terpencil semakin sedikit. Umpamakan saja kebutuhan totalnya akhirnya menjadi Rp. 10 triliun. Darimana dana sebesar ini berasal? Tanpa perlu menambah pinjaman luar negeri, sebenarnya dana itu dapat dialokasikan dari APBN. Pada pembahasan Rancangan APBN 2005 yang lalu, setelah melalui pembahasan yang cermat antara Pemerintah dan DPR, ditemukan ada kelebihan dana sebesar Rp. 7 triliun, jumlah ini merupakan hasil dari pengurangan rancangan pengeluaran dan penambahan rancangan penerimaan. Kalau saja sebagian dana penghematan tersebut tidak dialokasikan kembali ke semua instansi pusat untuk menambah anggaran instansi/komite/badan, dll; maka sebetulnya sebagian besar dana penyediaan listrik untuk penduduk di daerah terpencil ini dapat dipenuhi dalam waktu hanya 4-5 tahun saja. Artinya pada pembicaraan RAPBN tahun 2006, basis alokasi anggaran belanja pusat adalah rancangan awal sebagaimana yang diajukan Pemerintah, bukan setelah tercapai kesepakatan dengan DPR. Dengan demikian terdapat anggaran untuk pengadaan listrik tadi, bersamaan dengan kebutuhan dana untuk rekonstruksi Aceh yang sebagian besar dapat dipenuhi dari dana-dana bantuan luar negeri.
Sumber dana lain untuk penyediaan listrik ini adalah dari anggaran sektoral (dana dekonsentrasi), dana bagi hasil dan dana dari daerah sendiri. Dana alokasi yang khusus untuk pengadaan listrik dapat ditambahkan disamping untuk beberapa sektor yang memang memerlukan tambahan pendanaan tersendiri seperti jalan dan air bersih. Untuk propinsi NAD dan Papua (dan Irian Jaya Barat) ada dana tambahan dari dana otonomi khusus yang dapat dimanfaatkan untuk pengadaan listrik non-PLN tadi. Di samping itu, dana-dana lain dapat dialokasikan dari hasil pengurangan beberapa subsidi yang tidak efektif mencapai sasaran yang dituju.

IV. ENERGI SURYA
Meski bukan wilayah yang kaya sinar matahari seperti di Indonesia, banyak negara maju mulai berlomba-lomba memanfaatkan energi matahari sebagai sumber pembangkit energi alternatif. Amerika Serikat misalnya, sudah mengoperasikan pusat pembangkit listrik energi matahari. Spanyol memiliki pembangkit listrik energi matahari yang terbesar di benua Eropa. Sebuah proyek ambisius di bidang ini sedang digarap oleh Australia yang berencana membangun pusat pembangkit energi matahari terbesar di dunia. Proyek raksasa itu akan menelan anggaran sedikitnya 375 juta dolar AS (Rp 3,4 triliun). Proyek itu bertujuan untuk membangun pusat pembangkit energi matahari yang terbesar di dunia. Panel-panel cermin digunakan untuk menangkap sinar matahari yang kemudian diubah menjadi sumber energi. Pembangkit energi ini tidak akan menimbulkan emisi gas CO2 dan suplai energinya bisa memenuhi kebutuhan nasional.
Di Inggris, pembangkit energi alternatif bahkan sudah menjadi perlengkapan rumah tangga. Banyak rumah di London selatan, misalnya, sudah dilengkapi dengan sistem pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Rumah dengan pembangkit listrik domestik seperti itu kini menjadi tren di Inggris dan di berbagai negara. Pemerintah Inggris sejauh ini belum menunjukkan isyarat akan mewajibkan pemasangan pembangkit listrik domestik seperti itu di setiap rumah. Namun, pemerintah sudah meluncurkan program jangka tiga tahun dengan dana 60 juta poundsterling Rp 135 miliar) untuk mengembangkan dan mendukung microgeneration (pembangkit mikro, alat pembangkit listrik rumah tangga).
Sekitar 80.000 rumah di Inggris kini bisa menghasilkan listrik sendiri dengan unit pembangkit energi mikro. Menurut perkiraan Energy Saving Trust, penggunaan turbin domestik akan mensuplai empat persen kebutuhan listrik di Inggris. Pembangkit listrik tenaga angin itu mengurangi emisi karbondioksida sampai enam persen. Limbah karbon dari penggunaan listrik di Uni Eropa mencapai 8,5 ton sementara alat pembangkit listrik ini hanya menghasilkan limbah karbon kurang dari setengah ton. Menurut Energy Saving Trust, generasi energi ramah lingkungan itu bisa mensuplai lebih dari sepertiga kebutuhan energi dalam kurun waktu beberapa puluh tahun.

V. UPAYA LOKAL PENGADAAN LISTRIK
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi krisis listrik. Pemerintah Kota Balikpapan berencana akan membentuk perusahaan daerah (perusda) kelistrikan. Pendirian perusda tersebut dimaksudkan untuk mengatur pendistribusian pasokan listrik di Kawasan Industri Kariangau KIK) Balikpapan, bersama-sama dengan Gunung Bayan Group. Rencana pembentukan perusda itu sebagai tindak lanjut pascapembangunan PLTU batu bara 2X25 MW dengan nilai investasi mencapai US$ 60 juta yang pembangunannya ditargetkan rampung awal 2009. Pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang merupakan konsorsium antara Gunung Bayan Group dan Pemkot Balikpapan itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di KIK Balikpapan. Perusda yang dibentuk akan ikut di dalam distribusi listrik. Perusda memeroleh keuntungan dari penjualan listrik. Gunung Bayan Group dan Pemkot Balikpapan telah menandatangani kontrak kerja sama untuk memulai pembangunan PLTU batu bara tersebut.
Di Provinsi Kepulauan Riau, lima dari enam kabupaten/kota kesulitan mengatasi keterbatasan infrastruktur kelistrikan. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di daerah itu menjadi lamban. Hanya Kota Batam yang memiliki pasokan listrik sebesar 300 MW yang dapat memenuhi kebutuhan energi bagi pelanggan di pulau tersebut. Kelangkaan listrik dan ketidakmampuan PLN di lima kabupaten/kota itu memasok listrik bagi pelanggan memicu keterlibatan pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan subsidi melalui anggaran daerah. PLN Natuna termasuk perusahaan listrik yang merugi bila melihat ketidakseimbangan harga pokok produksi dengan harga jualnya kepada pelanggan.
PLN memproduksi satu kWh listrik berkisar antara Rp2.000-Rp2.500, tetapi harus dijual Rp658 per kWh. Untuk menutupi kerugian itu, Pemkab memberi subsidi sekitar Rp1.800 per kWh. Pemadaman bergilir ataupun pemadaman total sudah sering terjadi di kota Pulau Ranai karena pasokan listrik oleh PLN yang sangat terbatas. Di tengah keterbatasan itu, Pemkab Natuna sudah berupaya membeli tambahan mesin generator listrik di masing-masing kecamatan, tetapi mesin-mesin itu belum bisa dioperasikan karena belum memperoleh izin dari PLN sebagai satu-satunya pemasok daya di daerah itu.
Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah daerah lain, karena pemerintah pusat tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang terjadi di berbagai daerah secara serentak.

VI. KESIMPULAN
Listrik merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah perlu berusaha agar tidak ada wilayah yang tidak teraliri listrik. Jika PLN terkendala untuk melistriki desa-desa terpencil maka pemerintah (pusat dan daerah) perlu melakukannya. Salah satu sarana listrik yang dapat menjangkau wilayah terpencil dan pedesaan adalah listrik energi surya. Pemerintah daerah dan masyarakat perlu mengupayakan agar listrik energi surya ini semakin mudah diperoleh masyarakat sambil menunggu pasokan listrik dari PLN.
–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Hendri Kuok, Konstitusi dan Ekonomi: Kasus UU Ketenagalistrikan, dalam Hadi Soesastro et.al (eds); Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku 5 (1997-2005) Krisis dan Pemulihan Ekonomi, 2005
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, 2003
Narayan, Deepa (ed); Empowerment and Poverty Reduction, 2002
Sri Rum Giyarsih; Perwilayahan Layanan Sosial Ekonomi untuk Pengembangan Wilayah Perdeaan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah, Vol 1, No 1, Edisi 1 2006
Thomas, Vinod et.al.; The Quality of Growth, 2000
Yamazawa, Ippei and Amakawa, Naoko; Development Strategies Toward the 21st Century, 2002

Kemitraan Pemerintah – Swasta Dalam Pembangunan Infrastruktur

September 19, 2007


I. PENDAHULUAN
Kemitraan merupakan pelibatan swasta oleh pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat seperti infrastruktur, fasilitas sosial, pelayanan umum di bidang tertentu, dll. Untuk penyediaan barang publik itu pemerintah tidak selalu mampu menyediakannya sendiri, maka diperlukan peran swasta untuk mendukung pemerintah melaksanakan kewajiban publiknya. Dalam penyelenggaraan Infrastructure Summit tahun 2006, kemitraan dengan swasta dalam pengadaan infrastruktur merupakan tujuan utama.
Makalah ini membahas kemitraan pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Setelah menguraikan prinsip-prinsip kemitraan pemerintah dan swasta, pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan kemitraan pemerintah – swasta, masalah risiko dan penjaminan proyek-proyek infrastruktur, perencanaan program kemitraan pemerintah – swasta, dan arahan pelaksanaan program kemitraan pemerintah – swasta.

II. KERANGKA TEORITIS KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Partisipasi mitra swasta sangat diharapkan oleh pemerintah karena untuk membiayai pembangunan infrastruktur nasional yang mencapai 145 miliar dolar AS, hanya 17 persen yang sanggup dibiayai oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. Dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk pembenahan infrastruktur telah banyak namun kebutuhan dana masih besar karena wilayah yang sangat luas.
Jika kebutuhan infrastruktur di semua daerah dilayani serempak, maka akan dibutuhkan dana puluhan triliun rupiah. Sedangkan pemerintah memiliki dana yang sangat terbatas. Dalam keterbatasan tersebut, pemerintah harus membiayai juga sektor lain yang juga sangat vital, seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk tahun 2007, anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan yang dialokasikan dalam APBN hanya Rp 9,8 triliun. Penyediaan dana itu hanya sedikit dapat mengurangi jalan yang rusak berat. Kemitraan dengan swasta diharapkan menjadi solusi masalah ini.
Kekurangan infrastruktur diatasi dengaan mengundang investor asing menanamkan modalnya. Investor asing akan bersedia menanamkan modalnya jika tidak ada hambatan untuk mengimplementasikannya. Untuk itu pemerintah perlu menjamin bahwa proyek infrastruktur yang ditawarkan siap untuk direalisasikan. Pemerintah perlu memberikan informasi mutakhir yang diperlukan calon investor, seperti daftar proyek siap, peraturan dan jaminan hukum, ketentuan menyangkut kepastian usaha, perpajakan, perburuhan, dan lain-lain.
Dalam kemitraan antara pemerintah dan swasta, manfaat bagi kedua pihak yang diharapkan adalah:
· Penghematan biaya, melalui penyatuan jasa-jasa pelayanan
· Berbagi risiko, swasta ikut menanggung risiko
· Peningkatan standar pelayanan, melalui inovasi
· Peningkatan pendapatan, dari penyediaan jasa layanan baru
· Pelayanan yang lebih efisien, dalam hal waktu dan atau biaya
· Manfaat ekonomi, dalam hal penyerapan tenaga kerja, dll.

III. PERKEMBANGAN KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Percepatan pembangunan infrastruktur dengan memperbesar peran swasta dan investor asing hingga saat ini masih belum terlaksana dengan baik. Proyek pembangkitan tenaga listrik 10.000 MW masih kesulitan dijual kepada investor asing maupun lokal karena tidak adanya jaminan seperti yang diharapkan calon investor. Belum adanya kepastian jaminan pemerintah ketika harga pembebasan lahan melonjak atau jika proyek tertunda karena berlarutnya pembebasan lahan merupakan persoalan jalan tol yang belum terselesaikan.
Infrastruktur di sektor lain juga masih tersendat. Belum adanya undang-undang pelayaran, perkeretaapian, penerbangan, dan lalu lintas angkutan jalan yang memasukkan klausul kemitraan menjadi hambatan kemitraan. Hal itu karena dalam kebijakan undang-undang yang ada, ada ketentuan bahwa pihak yang melaksanakan proyek adalah badan usaha yang ditunjuk pemerintah, seperti PT Kereta Api Indonesia, Pelindo di sektor laut, dan Angkasa Pura di sektor bandara. Peraturan ini masih belum dicabut sehingga mengkhawatirkan investor.
Beberapa pola kemitraan yang telah dijalin tidak seluruhnya memberikan hasil seperti yang diharapkan, misalnya kemitraan dalam pengelolaan sampah, tempat pelelangan ikan, pemotongan hewan, dll. Bentuk-bentuk kemitraan ini perlu dikaji untuk dapat merumuskan pegangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam melakukan kerjasama dengan swasta.

IV. PENJAMINAN PROYEK INFRASTRUKTUR
Proyek infrastruktur memiliki cakupan risiko yang sangat luas. Dalam konteks proyek pengusahaan jalan tol, misalnya, harga lahan yang jauh di atas perkiraan dan proses yang panjang merupakan bentuk ketidakpastian nilai dan waktu pada proyek tersebut. Akibatnya, biaya yang dibutuhkan membengkak, yang menyebabkan proyek tidak feasible sehingga kurang menarik minat swasta. Masalah traffic atas ruas tol yang ditawarkan juga dapat menjadi isu yang dapat memengaruhi keputusan investor untuk masuk.
Pada dasarnya terdapat dua tipe ruas jalan tol. Pertama, yang layak secara finansial dalam arti menjanjikan keuntungan bagi pengelolanya. Tipe ini biasanya berada di wilayah yang aktivitas ekonominya telah berkembang pesat. Kedua, tipe jalan tol yang layak secara ekonomis yang ditujukan untuk pengembangan wilayah/daerah. Traffic pada ruas jalan tol tipe pertama dapat terpenuhi dan lebih diminati oleh investor.
Masalah lainnya adalah belum jelasnya blue print sistem jaringan jalan tol nasional serta konsistensi dalam implementasinya. Jika suatu wilayah sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai bagian ruas jalan tol, maka semestinya sejak saat itu tidak boleh ada transaksi di atas lahan tersebut. Pemerintah daerah harus memasukkan ruas tersebut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pada kenyataannya masih dijumpai terjadi pengalihan hak kepemilikan lahan maupun pendirian berbagai bentuk bangunan di atas lahan yang telah ditetapkan sebagai ruas jalan tol.
Berbagai masalah ini dapat mengakibatkan keengganan para investor untuk terlibat dalam proyek infrastruktur. Karena itu para investor meminta berbagai macam jaminan pemerintah seperti finansial, comfort letter, atau government guarantee karena terkait dengan kepentingan lenders guna keamanan dan kepastian pengembalian atas dana yang telah diinvestasikan pada proyek infrastruktur.
Jaminan pemerintah atas risiko proyek infrastruktur diatur dalam Perpres No. 67/2005 serta Permenkeu No. 38/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Jaminan ini bersifat risk sharing yang hanya diberikan pada proyek kerjasama antara pemerintah dan BUMN, BUMD maupun koperasi. Risiko yang dijamin oleh pemerintah mencakup risiko politik, risiko kinerja proyek, dan risiko permintaan. Risiko politik terkait dengan perubahan regulasi yang berdampak merugikan proyek infrastruktur. Risiko kinerja proyek terjadi, misalnya jika harga lahan lebih tinggi dari harga kontrak maka selisihnya akan ditanggung oleh pemerintah dalam persentase yang disepakati. Sedangkan risiko permintaan terjadi jika penerimaan atas pengelolaan infrastruktur lebih rendah dari rencana bisnis.
Dikaitkan dengan permasalahan infrastruktur, terdapat beberapa risiko yang dapat dicakup Permenkeu No. 38/2006 itu. Masalah lahan, misalnya, pemerintah akan menanggung sebagian kelebihan harga lahan. Permenkeu No. 38/2006 tidak otomatis menyelesaikan masalah lahan, mengingat ketidakpastian terbesar soal lahan berada pada proses pembebasannya, seperti yang dijumpai pada proyek Jakarta Outer Ring Road yang mundur karena terhambat masalah pembebasan lahan.
Jaminan pemerintah diwujudkan dalam Dana Pembangunan Infrastruktur dan pengalokasian pembiayaan sebesar Rp2 triliun dalam APBN 2007. Dana ini di samping untuk alokasi investasi proyek infrastruktur pemerintah juga dimaksudkan untuk pembagian risiko dengan investor swasta. Banyaknya permintaan jaminan pemerintah oleh para investor atas proyek infrastruktur menyiratkan bahwa risiko proyek infrastruktur tersebut masih tinggi. Di sisi yang lain tidak semua risiko dapat dijamin oleh pemerintah karena keterbatasan anggaran.
Proyek infrastruktur mengandung risiko yang besar, antara lain:
· Berkurangnya kontrol pemerintah, karena kewenangan yang diberikan ke swasta
· Standar akuntabilitas publik menjadi kurang jelas, karena sebagian ditanggung swasta
· Pelayanan yang tidak memuaskan, bila kualitas mitra swasta tidak baik
· Peningkatan biaya pelayanan, bila kebijakan tarif lemah
· Risiko politik, protes masyarakat yang tidak terbiasa menerima pelayanan publik oleh swasta
· Bias dalam seleksi mitra swasta, terkait proses tender dan kompetisi antarpihak swasta.Penolakan pegawai negeri, yang merasa terancam posisinya

Semua risiko itu harus dipertimbangkan dalam menjalin kerjasma dengan investor. Agar terdapat kepastian masalah lahan, misalnya, maka pemerintah perlu membebaskan lahan terlebih dahulu melalui BPN. Setelah selesai pembebasan lahan, investor mengganti biaya pembebasan lahan itu kepada pemerintah. Untuk itu perlu dibentuk Land Revolving Fund, atau dana bergulir untuk pengadaan lahan. Dengan pola ini maka salah satu risiko dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dapat ditiadakan.

V. PROGRAM KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Pemerintah perlu memberikan insentif untuk memastikan semua proyek layak dibiayai perbankan. Kalau ada yang tidak layak dibiayai bank (bankable) tetapi dibutuhkan masyarakat, maka perlu ada insentif sehingga layak dilakukan dari sudut pandang swasta. Insentif yang diberikan pemerintah dapat berupa dukungan finansial dan nonfinansial. Insentif lain yang juga penting adalah kepastian hukum dan kejelasan regulasi yang kondusif.
Pemerintah bersama DPR perlu segera mengesahkan paket Rancangan Undang-Undang bidang transportasi. Paket RUU bidang transportasi terdiri dari RUU Perkeretaapian, RUU Penerbangan, RUU Pelayaran dan RUU Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pemerintah juga perlu melakukan pembenahan regulasi untuk memperjelas fungsi dan kewenangan regulator dan pelaku operasi. Pembenahan itu dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, peraturan pemerintah tentang pengadaan lahan bagi proyek-proyek untuk kepentingan umum, peluncuran paket kebijakan perbaikan iklim investasi, serta percepatan pembangunan infrastruktur.

VI. PELAKSANAAN PROGRAM KEMITRAAN PEMERINTAH – SWASTA
Dengan mempertimbangkan berbagai manfaat dan risiko suatu kemitraan, pemerintah perlu melakukan beberapa tahap sebelum menjalin kemitraan dengan swasta.
Pertama, penentuan jenis pelayanan/proyek yang akan dilaksanakan melalui kemitraan, dengan mengacu beberapa kriteria seperti pendanaan, efisiensi, dll.
Kedua, persiapan ketentuan kemitraan, termasuk di dalamnya pembentukan tim manajemen, cara seleksi mitra swasta, kriteria evaluasi, dan strategi komunikasi publik.
Ketiga, seleksi calon mitra swasta melalui penilaian proposal yang diajukan.
Keempat, negosiasi hal-hal teknis soal pembayaran, dll. yang diakhiri dengan penandatanganan kontrak.
Selanjutnya ketika kemitraan dilaksanakan, pemerintah perlu melakukan monitoring agar pelaksanaan kemitraan sesuai dengan rencana semula.
Pada tahap akhir, evaluasi kemitraan perlu dilakukan untuk merumuskan hal-hal yang perlu dibenahi dalam kemitraan berikutnya.

VII. KESIMPULAN
Kekurangan infrastruktur yang sangat mendesak saat ini dapat diatasi dengaan mengundang investor asing menanamkan modalnya. Investor asing akan bersedia menanamkan modalnya jika tidak ada hambatan untuk mengimplementasikannya. Untuk itu model partisipasi dengan mitra swasta sangat diharapkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur nasional.
Dalam mendorong terjadinya kemitraan dengan swasta, pemerintah perlu menginformasikan lengkap tentang proyek yang ditawarkan dengan memberikan dokumen detail setiap proyek, antara lain, meliputi rencana pembiayaan, agenda realisasi, dokumen tender, dan kejelasan peran pemerintah.
Proyek infrastruktur memiliki cakupan risiko yang sangat luas. Semua risiko itu harus dipertimbangkan dalam menjalin kerjasma dengan investor. Dalam jangka menengah pemerintah perlu menyusun peraturan yang lebih rinci mengenai pembagian risiko dan pemberian jaminan yang riil. Dengan menyediakan landasan peraturan dan mekanisme yang rinci ini maka berbagai proyek infrastruktur dapat ditawarkan kepada swasta.
–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Bintoro Soedjito, Peran Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur: Kerangka Kebijakan, Pengaturan dan Kelembagaan, dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Kotler, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Suyono Dikun, Pengembangan dan Pengelolan Infrastruktur, dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005

Kebijakan Strategis Pembangunan Ruang Wilayah Nasional

September 19, 2007

I. PENDAHULUAN
Ekonomi Indonesia sekarang ini sedang mengalami titik balik. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990an, datangnya era persaingan bebas, dan dengan semakin bertambahnya penduduk, pertumbuhan ekonomi menurun tajam, dan Indonesia sempat termasuk negara berpendapatan rendah. Namun sejak beberapa tahun terakhir ini perekonomian negara sudah mendekati keadaan sewaktu krisis. Kecenderungan ini akan berdampak pada wujud tata ruang Indonesia di masa yang akan datang.

II. PERUBAHAN YANG BERIMPLIKASI PADA TATA RUANG
Wujud tata ruang negara Indonesia tidak hanya ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam negeri. Dunia yang sedang menghadapi perubahan-perubahan besar, secara langsung juga akan berpengaruh pada kehidupan manusia dan ruang hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut antara lain:
Globalisasi semakin meluas, sebagai dampaknya, terjadi persaingan yang semakin keras antar negara, baik antara sesama negara maju, sesama negara berkembang maupun antara negara maju dengan negara berkembang.
Persoalan lingkungan yang harus ditangani secara global telah muncul dan akan semakin berat. Selain itu, dunia akan mengalami kekurangan energi, makanan dan sumberdaya alam lainnya seiring dengan berjalannya waktu.
Jumlah manusia bertambah. Berbagai faktor akan menyebabkan penduduk dunia bertambah dengan pesat, yang khusus Indonesia saja akan menjadi 250 juta orang dalam waktu beberapa tahun saja ke depan.
Penduduk Indonesia dan kegiatannya sebagian besar saat ini terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini menyebabkan terjadinya kelebihan penduduk dan konsentrasi yang tinggi dalam satu wilayah. Penumpukan aktivitas ekonomi sangat jelas terjadi di Jabodetabek, dan beberapa wilayah lain seperti Surabaya dan sekitarnya (dsk), Bandung dsk, Medan dsk, Makassar dsk.[1] Secara keseluruhan terlihat adanya polarisasi kegiatan ekonomi, yaitu Jakarta dsk. sebagai satu kutub besar, dan beberapa kutub sedang serta ratusan kutub-kutub kecil.
Pengamatan terhadap konfigurasi kegiatan ekonomi tersebut menyimpulkan perlunya merubah struktur yang berupa kutub tunggal tersebut ke dalam suatu struktur yang multikutub yang masing-masing berdiri sendiri namun terkait satu sama lain.

III. TUJUAN STRATEGIS JANGKA PANJANG
Tujuan-tujuan dasar yang perlu dicapai mengenai wujud tata ruang Indonesia di masa depan adalah:
A. Membangun kembali struktur ekonomi dan membangun kegiatan bisnis yang menciptakan lingkungan yang menarik dan mendorong tumbuhnya kreativitas berusaha. Tujuan ini dimaksudkan untuk mengangkat perekonomian nasional yang sejak akhir tahun 1990an mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi. Struktur perekonomian nasional perlu diupayakan lebih matang dengan pangsa sektor jasa yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, karena akan memberikan nilai tambah yang lebih banyak per tenaga kerja. Ini tidak berarti ada pengabaian teradap sektor pertanian, bahkan sebaliknya sektor pertanian harus mendukung suplai pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya akan lebih dari setengah miliar orang pada beberapa puluh tahun ke depan.
B. Memungkinkan seluruh bangsa Indonesia untuk berhubungan langsung dengan bangsa-bangsa lain. Tujuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jangkauan kegiatan ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia. Diharapkan dengan kemudahan melakukan hubungan langsung dengan luar negeri dalam waktu cepat dan biaya terjangkau maka pertumbuhan ekonomi akan lebih pesat lagi.[2]
C. Menjadikan Indonesia sebagai tempat yang aman untuk tinggal dan terlindung dari bencana alam. Tujuan ini dimaksudkan untuk membuat penduduk Indonesia menempati permukiman yang terbebas dari ancaman bencana alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir. Selain itu, penduduk Indonesia juga harus dibebaskan dari bahaya terjadinya konflik sosial, seperti yang pernah terjadi di berbagai daerah beberapa tahun yang lalu.[3]
D. Menciptakan daerah-daerah yang berdiri sendiri yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan hidup penduduk. Tujuan ini dimaksudkan untuk menciptakan wilayah-wilayah yang mandiri dalam arti kesempatan kerja dan kebutuhan pokok penduduk dapat dipenuhi dari dalam atau di sekitar wilayah tempat tinggalnya, sehingga tidak harus melakukan perjalanan yang jauh. Permukiman yang terlalu besar akan membutuhkan prasarana dan sarana yang besar yang harus disediakan denga biaya yang besar.[4]
E. Membangun kembali kesadaran berlingkungan hidup untuk mencapai kelestarian alam yang dapat bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Tujuan ini dimaksudkan untuk menjaga lingkungan hidup yang ada sebaik-baiknya sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang dalam keadaan tetap baik, sehingga dapat mengambil manfaat yang sama bahkan lebih daripada apa yang sekarang ini dimanfaatkan oleh generasi saat ini.

IV. KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK MENCAPAI TUJUAN
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan jangka panjang di atas, maka perlu dirumuskan kebijakan strategis dalam bidang penataan ruang wilayah nasional sebagai berikut.
1. Membangun Permukiman yang Produktif
Setiap kesatuan wilayah, besar dan kecil, kota dan desa, di darat dan laut, memiliki kekayaan alam yang unik dan oleh sebab itu perlu dijadikan tempat berproduksi dengan mengolah sumber-sumber daya alam itu secara berkelanjutan, berkeadilan dan bertanggung jawab. Wilayah-wilayah tersebut perlu menjadi wilayah yang mandiri dengan fasilitas yang lengkap, dalam suatu lingkungan yang asri dan nyaman.
2. Menata Ulang Wilayah Metropolitan
Wilayah metropolitan, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makasar, dsb. semuanya sudah/akan menjadi wilayah yang terlalu padat. Oleh karena itu wilayah-wilayah metropolitan itu perlu ditata ulang dan dipulihkan fungsinya pada tingkat dimana segala sesuatunya dapat berjalan secara efisien.
3. Menciptakan Keterkaitan Wilayah Secara Global
Keterkaitan wilayah secara global perlu diperkuat sehingga dapat membuat setiap wilayah di Indonesia dapat berinteraksi dengan wilayah-wilayah lain di seluruh dunia dengan cepat. Setiap wilayah perlu mendayagunakan potensi dan karakteristik yang dimilikinya dan tidak harus tergantung pada Jakarta. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut maka setiap wilayah harus memiliki prasarana komunikasi berjangkauan global.[5]
4. Membangun Suatu Tata Ruang Nasional yang Ramah Lingkungan
Untuk dapat mewariskan suatu lingkungan yang asri penuh sumberdaya dan terlanjutkan, kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah mengamankan kawasan-kawasan alami, membuat jaringan antar wilayah untuk membuka wilayah-wilayah terpencil, mendorong agar lingkungan alam yang ada dihargai dan dilindungi dengan menganjurkan masyarakat untuk tidak memboroskan pemanfaatan sumber daya alam dan energi, dan mempraktekkan cara hidup yang lebih harmonis dengan siklus alam.

V. KESIMPULAN
Wujud tata ruang Indonesia selain ditentukan oleh perubahan-perubahan di dalam negeri juga dari luar negeri, antara lain globalisasi yang menyebabkan persaingan yang semakin keras antar negara, persoalan-persoalan lingkungan dan kekurangan energi, makanan dan sumberdaya alam lainnya, jumlah manusia bertambah. Akibatnya adalah adanya polarisasi kegiatan ekonomi, yaitu Jakarta dsk. sebagai satu kutub besar, dan beberapa kutub sedang serta ratusan kutub kecil. Struktur kutub tunggal tersebut perlu diubah menjadi struktur multikutub yang terkait satu sama lain.
Tujuan dasar utama membentuk tata ruang Indonesia di masa depan adalah membangun kembali struktur ekonomi dan membangun kegiatan bisnis yang menciptakan lingkungan yang menarik dan mendorong tumbuhnya kreativitas berusaha. Tujuan ini untuk mengangkat perekonomian nasional yang sejak akhir tahun 1990an mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi.
Untuk mewujudkan tujuan jangka panjang di atas perlu dilakukan kebijakan membangun permukiman yang produktif, menata ulang wilayah metropolitan, menciptakan keterkaitan wilayah secara global, membangun suatu tata ruang nasional yang ramah lingkungan.
–o0o–

DAFTAR PUSTAKA
Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef; Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, 1996
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
Thomas, Vinod et.al.; The Quality of Growth, 2000
Winarso, Haryo dan Kombaitan, B.; Public Intervention in the Formal Housing Market in Indonesia: Who Gets the Benefits?, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 15, No. 2, Juli 2004
Winarso, Haryo e.al (eds); Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, 2002
Yamazawa, Ippei and Amakawa, Naoko; Development Strategies Toward the 21st Century, 2002

[1] Dalam skala yang lebih kecil konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi di Manado dsk, Palembang dsk, Balikpapan dsk, dan di beberapa wilayah lagi.
[2] Hal yang sama diharapkan terjadi dalam aspek perkembangan teknologi, sosial dan budaya.
[3] Antara lain di Poso, Maluku, dan dalam skala lebih kecil di beberapa perdesaan di Jawa.
[4] Daripada digunakan untuk membiayai prasarana/sarana skala besar tersebut, penghasilan masyarakat sebenarnya dapat digunakan untuk menikmati kehidupan yang lebih berkualitas.
[5] Seperti pusat kegiatan bisnis, sarana konvensi, jaringan transportasi dan telekomunikasi.